Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Paspor Indonesia Kalah Saing dengan Malaysia, Ini Kata Ditjen Imigrasi

Kompas.com - 27/10/2017, 13:59 WIB
Muhammad Irzal Adiakurnia

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Belum lama ini salah satu lembaga konsultan global, Passport Index merilis kembali daftar negara dengan pengaruh paspor "terkuat" sekaligus negara yang bisa bebas bepergian ke negara lain tanpa visa.

Konsultan global yang berbasis di Kanada ini menobatkan Singapura di posisi teratas, setelah mengungguli Jerman dengan paspor yang paling berpengaruh sekaligus bebas visa terbanyak, yaitu bisa datang ke 159 negara tanpa harus repot mengurus visa.

(Baca juga : Negara dengan Paspor Terkuat di Dunia, Singapura Saingi Jerman)

Singapura memang jauh meninggalkan beberapa negara ASEAN lainnya, tetapi tidak untuk Malaysia.  Negeri tetangga ini ada di posisi enam bersama Amerika, Republik Irlandia, dan Kanada, dengan jumlah negara yang bisa disinggahi tanpa visa sebanyak 154 negara

Indonesia berada pada peringkat 64, bersama Afrika, Zambia, Tunisia, dan Cape Verde. Ada 63 negara yang membebaskan visa (termasuk visa dinas dan diplomatik) bagi Warga Negara Indonesia.

(Baca juga : Apa Kendala Indonesia untuk Dapat Lebih Banyak Bebas Visa?)

Terkait hal tersebut, Direktorat Jenderal Imigrasi Republik Indonesia memberikan penjelasan kepada KompasTravel, mengenai dokumen keimigrasian Indonesia dan berbagai negara tersebut.

"Pertama, yang me-rangking paspor, itu bukan lembaga resmi internasional, dia tidak punya akreditasi untuk melakukan penilaian kekuatan. Karena di dunia tidak ada organisasi internasional resmi yang diberikan wewenang menilai kredibilitas suatu paspor," ujar Agung Sampurno, Kepala Bagian Humas Ditjen Imigrasi kepada KompasTravel saat dikonfirmasi lewat telepon, Kamis (26/10/2017).

Bukan hanya orang dewasa, paspor juga dibutuhkan untuk anak-anak sebagai identitas mereka ketika melakukan perjalanan ke luar negeri.KOMPAS.COM/Alek Kurniawan Bukan hanya orang dewasa, paspor juga dibutuhkan untuk anak-anak sebagai identitas mereka ketika melakukan perjalanan ke luar negeri.
Ia mengatakan harusnya penilaian paspor dan visa itu dibedakan, jika paspor dinilai lebih pada kepercayaan masyarakat dunia atas standar-standar paspor yang telah ditetapkan lembaga resmi.

Standar paspor sendiri memang telah ditetapkan oleh lembaga resmi yang disepakati dunia, yaitu International Civil Aviation Organization (ICAO). Standar yang dibuat meliputi tiga besar, ialah standardisasi produksi (bahan), fitur keamanan, dan pemakaiannya. Lembaga ini tidak berwenang melakukan penilaian.

"Rangking kekuatan tadi dalam terminologi imigrasi tidak relevan, karena paspor tidak bisa dinilai seperti itu. Tapi bisa diukur dari tiga proses tadi benar apa enggak berjalan dengan baik. Jika tidak standar akan berkurang kredibilitasnya," kata Agung.

Ia mencontohkan paspor Suriah atau negara konflik lainnya, yang diragukan kredibilitasnya, karena diproduksi di negara konflik yang kurang terjamin keamanannya. Sedangkan Indonesia meskipun negara aman, masih adanya jual beli paspor di kalangan TKI ilegal, sehingga menurunkan kredibilitas. 

"Artinya bisa jadi paspor Singapura itu termasuk yang paling aman dan dipercaya, pertama karena budayanya orang Singapura tadi disiplin, rapi, apik alias tidak jorok menggunakan paspor. Di luar dokumen dilihat juga dari perawakan orangnya," ujarnya.

Japan Visa Application Centre di Jakarta.Kompas.com/Silvita Agmasari Japan Visa Application Centre di Jakarta.
Visa

Sedangkan untuk visa, menurut Agung, mutlak menjadi salah salah satu alat politik hukum suatu negara terkait dengan orang asing yang boleh masuk. 

Politik kepentingan suatu negara tercermin dari jumlah bebas visa yang dia berikan pada negara lain. Semakin banyak jumlah bebas visa yang diberikan maka politik keimigrasiannya cenderung terbuka, dan sebaliknya.

"Salah satu contoh, walaupun kita memberikan bebas visa bagi Amerika, tapi kita tidak bisa memaksa Amerika untuk memberikan bebas visa juga ke kita. Karena itu kewenangan Amerika sendiri sesuai pertimbangan politik hukum luar negeri, hubungan luar negeri, kepentingan nasionalnya," katanya.
 
"Kenapa kita memberikan 169 negara bebas visa wisata? Katena kita membutuhkan wisatawan dan devisa. Jangan mengharap kita mendapat juga dari negara-negara tersebut. Karena ini bukan untuk suply-demand di hukum ekonomi tapi hukum politik, kebijakan politik negara itu ke Indonesia. Kalau tidak ada perlu dengan masyarakat Indonesia ya tidak bebas visa," ungkap Agung Sampurno.
 
Contoh lain, menurut Agung, ketika di zaman Orde Baru, yang hanya memberikan bebas visa ke 15 negara saja. Namun kini Indonesia berubah signifikan sedikit lebih terbuka karena ada kepentingan devisa.
 
Ilustrasi visa Jepang.Shutterstock Ilustrasi visa Jepang.
"Kalau beberapa negara yang kini memberikan bebas visa ke Indonesia, saya kurang begitu hafal, harus ditanya dulu kondisi terkininya. Karena negara di dunia kan dinamis setiap hari. Ada yang buka di visa tujuan wisata, tapi juga seketika ada yang nutup di visa diplomatik atau dinas," katanya.
 
"Jadi yg perlu dipahami, pemberian bebas visa dari suatu negara jangan dikaitkan dengan hukum ekonomi timbal balik. Tapi keuntungannya bisa dilihat dari bagaimana efektivitas bebas visa wisata yang diberikan Indonesia terhadap kepentingan nasional, yaitu wisatawan meningkat nggak? Devisa meningkat nggak?" kata Agung Sampurno.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com