Di sini terdapat pasar seni yang menjual jajanan, makanan dan pusat perbelanjaan pakaian lokal. Kami sempat dibelikan Tina beragam atasan, bawahan dan syal bergaris merah tua-putih. Menurutnya, corak tersebut adalah gaya Khmer yang menjadi pakaian khas Kamboja.
Selain Angkor Wat, kota dengan arsitektur bergaya kolonial Perancis ini juga menawarkan situs destinasi lainnya, museum, pertunjukan tari dan budaya tradisional Apsara dan French Old Quarter, yaitu daerah yang kental dengan bangunan bergaya Perancis.
Tak heran, banyak restoran Perancis di sini lengkap dengan pelayan lokal yang fasih berbahasa Perancis.
Ada perasaan lega melihat penduduk yang seakan telah terbebas dari belenggu komunis Khmer Merah. Cerita Bong Cheni soal tikus yang berujung pada kisah panjang rezim Khmer Merah, terbayang dibenak saya.
Kekuasaan Khmer Merah yang melarang warganya untuk menerima pengaruh negara asing, seperti menggunakan obat dari luar negeri saat sakit, bekerja untuk pemerintah, menjadi biksu, sampai belajar menjadi pintar.
Pembunuhan massal sebanyak sepertiga atau dua juta penduduk Kamboja dibunuh oleh Khmer Merah, yang kebanyakan adalah para biksu, keluarga pekerja profesional, guru dan pelajar serta orang berkaca mata.
Tak diragukan lagi, Kamboja memang adalah negara sarat sejarah, namun sangat indah dengan penduduknya yang baik dan ramah, seperti Bong Cheni.
Meskipun trauma konflik masa lalu masih tersisa, namun pengalaman selama di Siem Reap, memberi kami pelajaran yang berharga, selain tentang kemanusiaan, juga mengenai seekor tikus, sang penyelamat nyawa.
Rekomendasi Penginapan
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.