RABU siang, 29 November 2017, saya sedang mempersiapkan bagian-bagian akhir buku saya yang akan naik cetak, ketika tiba-tiba banyak pesan masuk dari grup whatsapp Komunitas Penulis Penerbit Buku Kompas.
Isinya, sahabat kami Pak Bondan Winarno, meninggal dunia pada pukul 09.05 pagi di ruang ICU Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, Jakarta. Inna lillahi wa inna ilaihi rojiunnn.
Kami semua bagai bermimpi di sing bolong, tak percaya. Kami masih ingat pesan WA panjang Almarhum pada 17 Oktober 2017, yang diawali dengan kalimat, “Saya ingin mengabarkan berita gembira...”.
Pesan tentang bagaimana bahagia dan bersemangatnya beliau karena keberhasilan operasi aorta dan katup jantung yang dijalaninya pada 27 September 2017.
Namun, setelah perjuangan rehabilitasi medik –saya sempat bertemu dan makan siang bertiga dengan Pak Chappy Hakim pada masa Pak Bondan masih melakukan terapi- Sang Khalik memanggilnya.
Almarhum jurnalis senior di berbagai media massa, wartawan karier di harian Sinar Harapan, mantan pemimpin redaksi ketika nama harian telah berganti menjadi Suara Pembaruan dan terakhir penulis buku soal kuliner Indonesia yang sangat produktif di Penerbit Buku Kompas.
Dalam barisan beberapa karya larisnya yang berjudul seri 100 Maknyus Masakan Indonesia ini, ia menulis dan mengangkat kisah-kisah kuliner Indonesia sekitar tahun 2000.
Kemudian, ia juga menggagas acara kuliner di televisi, hingga acara seperti ini menjadi amat digemari sekarang.
Menyukai detail, itulah yang menjadi citri utama ulasan-ulasan Bondan Winarno. Maka, jangan heran kalau ia bisa membagi cerita perkembangan kesehatan aorta jantungnya yang terkena pengelembungan (dilatasi), dengan sangat runut dan dalam bahasa yang mudah dicerna.
Anda sekalian saat ini bisa membaca sendiri kisah perkembangan penyakitnya yang telah tersebar di berbagai lini masa.
Ransum Sop Kepala di Margahayu
Untuk saya, Pak Bondan Winarno adalah sosok hebat, maestro tulis-menulis, tapi rendah hati. Saya masih ingat ketika saya masih kroco, mahasiswa magang berumur 17 tahun di Suara Pembaruan dan tabloid Mutiara, saya melihatnya dari kejauhan dengan kagum. Ini toh Bondan Winarno yang tulisannya sering saya baca di Sinar Harapan sejak saya SD.