Koran Sinar Harapan memang koran kami di rumah. Ketika kelas akhir di SD, saya sudah ingat namanya wara-wiri di koran sore itu.
Dan kini, 30 tahun kemudian, ketika kami menjadi satu dalam sebuah komunitas penulis, Pak Bondan tak segan-segan membantu sumbang tulisan dalam buku Dari Capung sampai Hercules.
Judul buku yang akan meluncur dua minggu lagi ini, telah dipilih Yang Maha Kuasa dan almarhum untuk memuat publikasi terakhirnya yang berjudul, “Ransum Sop Kepala di Margahayu”.
Publikasi yang bukan saja menunjukkan tikungan hidupnya bertemu Marsekal Chappy Hakim pada umur 19 tahun, tetapi menunjukkan betapa lekatnya almarhum dengan dunia tulis-menulis ini.
Bahkan, menjadi anggota pandu (pramuka) pilihan dan akhirnya siswa pendidikan terjun payung (para) di Margahayu, Bandung itu, dilakukan dengan bermodalkan buah penanya.
Saya cuplikkan tulisan itu.
“Pada tahun 1969, saya beruntung mendapat ‘jatah’ untuk dilatih di Sekolah Para, Wingdik 002, Lanud Sulaiman, Margahayu, Bandung. Prosedurnya cukup sederhana. Saya mengirim surat ke Komandan Wingdik 002 AU (Wing Pendidikan 002 Angkatan Udara Republik Indonesia) di Margahayu.
Saya nyatakan bahwa saya adalah seorang anggota aktif Pramuka Angkasa di Semarang, pernah dipilih menjadi Kepala Regu Delegasi Pramuka Indonesia menghadiri World Boy Scout Jamboree di Idaho, USA, dan bercita-cita menjadi wartawan perang.
Dalam surat itu saya juga mencantumkan janji bahwa saya akan menulis pengalaman saya menjalani pengalaman berlatih terjun payung untuk dimuat di majalah dan surat kabar.”
(“Ransum Sop Kepala di Margahayu”, Bondan Winarno dalam Dari Capung sampai Hercules. Penerbit Buku Kompas, 2017).
Bagaimana ia sampai jatuh cinta pada pandu yang zaman itu organisasinya bernama Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI)?
Kelahiran Surabaya, 29 April 1950 yang kemudian pindah dan besar di Semarang ini menunjuk ayahnya.
“Ayah saya pelatih Pandu senior, bahkan melatih anggotanya di halaman rumah kami di Semarang,” ia bercerita siang itu, 24 Oktober 2017.
Latihan kepanduan itulah yang tampaknya membentuk karakter Pak Bondan. Terlihat bagaimana penulis investigasi kasus tambang emas bodong di Busang, Kalimantan ini jujur, ulet, mencintai detail.
Menulis adalah hobinya. Selain seperti yang diceritakannya sendiri, ia berhasil ikut menjadi wakil Pramuka Angkasa yang latihan terjun para bersama para karbol pada tahun 1969 itu karena tulisan yang dikirimkannya kepada Komandan Wing Pendidikan 002.
Sampai-sampai (mungkin tidak banyak yang tahu) ia tak cukup puas hanya menjalankan tugas “resmi” media tempatnya bekerja, tetapi juga menjadi ghost writer untuk Pangkopkamtib Jenderal Sumitro. Dulu, tokoh kharismatik ini sering disebut sebagai “Sumitro Gendut”.
Ulasan yang dibuat Bondan tentang ekonomi-politik yang memakai nama Sang Jenderal kemudian muncul di mingguan Far Eastern Economic Review. Kita tahu, betapa sulitnya sebuah tulisan kolom dimuat di FEER pada edisi sekitar awal tahun 1970-an.
Kisahnya sebagai ghost writer inilah yang menemani makan siang di Tesate, Plaza Senayan siang itu.
Kembali kepada tulisannya, “Ransum Sop Kepala di Margahayu”, saya kagum pada kepiawaiannya membawa pembaca segala usia membayangkan kejadian di masa berpuluh-puluh tahun yang lampau. Ini juga kemampuan seorang jurnalis yang tekun.