Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Imelda Bachtiar

Alumnus Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Indonesia (UI) tahun 1995 dan Pascasarjana Kajian Gender UI tahun 2010. Menulis dan menyunting buku bertema seputar memoar dan pemikiran tokoh berkait sejarah Indonesia, kajian perempuan, Peristiwa 1965 dan kedirgantaraan. Karyanya: Kenangan tak Terucap. Saya, Ayah dan Tragedi 1965 (Penerbit Buku Kompas-PBK, 2013), Diaspora Indonesia, Bakti untuk Negeriku (PBK, 2015); Pak Harto, Saya dan Kontainer Medik Udara (PBK, 2017); Dari Capung sampai Hercules (PBK, 2017).

Bondan Winarno dan Kenangan Ransum Sop Kepala di Margahayu

Kompas.com - 03/12/2017, 12:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorHeru Margianto

 

Saya pilih bagian yang berciri tulisan seorang Bondan Winarno yang deskriptif dan menunjukkan kepiawaiannya menjelaskan ransum makanan yang sangat sederhan.

Ransum yang ia juga cicipi sendiri ketika menjadi siswa terjun (para) di Margahayu tahun 1969.

“Pada masa itu, AURI sedang mengalami masa “dianaktirikan”. Gara-gara keterlibatan beberapa perwira AURI dalam G30S/PKI, AURI mendapat stigma sebagai matra yang “condong ke kiri”.

Penganaktirian itu mengimbas pada kecilnya alokasi dana bagi AURI. Ketatnya anggaran dapat kami rasakan selama pendidikan di Margahayu.

Ransum atau jatah makanan kami sangat miskin. Nasinya dari beras yang di masa sekarang mungkin tergolong raskin atau rastra (beras untuk kaum pra-sejahtera). Lauk-pauknya pun sangat terbatas.

Kami jarang sekali mendapat daging. Menu populer bagi kami adalah sop kepala. Ini bukan sop kepala kambing. Sopnya sangat encer, kaldunya hampir tidak terasa. Sayur-mayurnya pun sangat sedikit.

Sop ini ditaruh di dalam panci besar yang mirip drum. Kami harus menciduk sendiri dari dalam panci itu. Setiap kali akan menciduk, saking beningnya sop, kami bisa melihat bayangan kepala kami sendiri di permukaan sop itu.

Demikianlah sop kepala yang hanya terasa garam dan ladanya.

Untuk menambah gizi, siswa membeli krupuk sendiri. Ada pula yang sengaja membawa abon atau sambal goreng teri sebagai lauk tambahan.

Setiap siang, selalu ada ibu sepuh yang perjualan krupuk. Plastik tempat krupuknya ditempatkan di samping drum sop kepala. Mereka yang memerlukan tinggal ambil krupuk sendiri, dan kemudian membayarnya pada ibu sepuh yang duduk di lantai serambi luar barak.

Tidak ada falsafah Darmaji (dahar lima ngaku hiji) ketika itu. Semua jujur, karena takut payungnya tidak mengembang.

Favorit saya adalah penjual gado-gado-gado dan combro, yang juga menggelar dagangannya di lantai serambi.”

(“Ransum Sop Kepala di Margahayu”, Bondan Winarno dalam Dari Capung sampai Hercules. Penerbit Buku Kompas, 2017).

Komunitas Penulis Penerbit Buku Kompas

Kami menyingkatnya dengan KP-PBK. Sebuah komunitas gayeng di Whatssapp yang juga bertemu berkala dalam diskusi bulanan, jalan-jalan atau buka puasa bersama. Anggotanya kini 91 orang penulis yang bukunya pernah diterbitkan PBK dalam berbagai tema.

Pak Bondan dengan sendirinya menjadi super senior –dalam ilmu dan umur- di kelompok kami ini. Super senior lainnya sebut saja: Pak Sayidiman Kartohadiprodjo, Pak Chappy Hakim, Pak Kiki Syahnakri, Ibu Dokter Nies Endang, Pak Ninok Leksono, Pak Peter Carey, Pak Daniel Dhakidae dan yang lainnya.

Sebagian besar kami berumur 40-an, walaupun ada juga yang masih berumur belum lagi 30 tahun. Saya, kebetulan menjadi bagian urus-urus kalau KP-PBK membuat acara bersama.

Dalam grup kami, sudah banyak usul Pak Bondan membuat wisata kuliner ke tempat-tempat yang diberi cap “Maknyuss” atau enak banget olehnya.

Sampai pada 8 Desember 2016 Pak Bondan melayangkan email rencana itu ke email saya. Judul emailnya “Wiskul PBK Semarang” yang direncanakan pada 10-12 Februari 2017, dengan rencana rapi jam per jam kunjungan ke berbagai tempat di Semarang yang bikin air liur menitik.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com