Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Realita Naik Kapal Pelni ke Timur Indonesia

Kompas.com - 04/12/2017, 09:36 WIB
Silvita Agmasari

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Lautan manusia berebut masuk ketika gerbang pelabuhan menuju Kapal Motor Leuser milik PT Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni) dibuka. Waktu baru menunjukkan pukul 22.00 WIT, kapal akan berangkat pukul  01.00 WIT.

Saya di Ambon, Maluku menuju Banda Neira, Kabupaten Maluku Tengah. Perjalanan menumpang KM Leuser dari Ambon ke Banda Neira menempuh 11 jam perjalanan mengarungi Laut Banda.

"Kalau naik kapal Pelni harus siap-siap. Itu matras tidurnya berebutan, aku waktu pergi ke Banda sama teman-teman ngemper di dekat kantin," kata Swita, jurnalis senior yang berkunjung ke Banda Neira tahun 2016, menumpang kapal Pelni. 

(Baca juga : Simak Panduan Lengkap Transportasi Menuju Banda Neira)

Saya sebenarnya telah bersiap dengan kondisi di kapal yang disebutkan oleh Swita. Namun  sopir taksi di Bandara Pattimura, Ambon, Kris mengatakan PT Pelni punya peraturan yang lebih ketat sekarang.

"Sekarang nggak boleh sembarangan, harus punya tiket baru boleh masuk. Untung sudah beli tiket kamu dari Jakarta, kalau tidak bisa gawat," kata Kris setelah saya sampai di Bandara Pattimura pukul 18.00.

(Baca juga : Patra Jasa dan Pelni Investasi Kapal Pesiar)

Benar saja kata Kris, ketika masuk gerbang pelabuhan para penumpang diperiksa tiketnya. Satu persatu tiket akan discan, sehingga meminimalisir tiket palsu. Setelahnya tangan penumpang akan di cap, tanda penumpang resmi. Rasanya ada sedikit harapan untuk perjalanan 11 jam ke depan. 

Apalagi membeli tiket kapal Pelni juga kian mudah sekarang, tinggal memesan di situs resmi, membayar di mini market, dan menukar struk pembayaran di loket resmi Pelni. Pada tiket tercantum jadwal keberangkatan dan nomor ranjang. 

(Baca juga : Ini Tempat-tempat Menyantap Papeda Kuah Kuning Khas Maluku)

Masuk ke kapal saya dan rekan seperjalanan saya Tri, menuju nomor ranjang yang tercantum di tiket. Dek lima nomor 50006. Sesampainya saya di sana kasur saya dan Tri sudah ditempati penumpang lain. Loh?

"Sudah ada orang ini," kata seorang ibu ke saya dan Tri. Semua ranjang sudah terisi penumpang. Saya tambah bingung. "Turun ke dek tiga, masih kosong," kata seorang bapak. 

Kemudian saya berkeliling dari kabin dek tiga, empat, lima. Nihil tak ada ranjang yang kosong. Di bagian luar dek lima saya lihat berkarung karung bawang merah. Baunya menyeruak, dengan kulit luat bawang yang beterbangan. Penjual tikar menawarkan saya membeli tikar, tidur di tempat bawang. Skenario terburuk saya pikir.

Naiklah saya ke dek paling atas, dek enam. Sudah banyak orang yang membuka tikar. Akhirnya saya dan Tri memutuskan untuk membeli tikar dan tidur di sana. Beratap sekoci penyelamat, berteman angin laut.

"Kayak homeless kita," kata Tri, jurnalis dari media lain.

Homeless di Amerika Serikat merujuk pada tuna wisma. Berpindah dari satu tempat ke tempat lain sekadar untuk tidur, karena tidak memiliki tempat istirahat permanen. 

Lelah melakukan perjalanan ke Ambon dari pukul 08.00 WIB akhirnya saya tidur, sembari memeluk tas yang berisi barang berharga.

Tak lama saya terbangun dan kapal masih belum berangkat. Waktu menunjukkan pukul 00.00 WIT. Penumpang yang duduk di sebelah saya, Pak Iqram ternyata warga Banda Neira.

"Kalau mau tidur, masukkan barang bawaan berharga kamu ke dalam jaket. Banyak copet di atas jam 01.00 malam kalau di kapal," kata Pak Iqram. Saya dan Tri tambah waspada. 

Saya tidur nyenyak meski beralas tikar, tetapi hanya sampai pukul 05.10 ketika perlahan rintik air jatuh di wajah. Gerimis datang, disusul hujan deras. Semua penumpang yang tidur di dek enam bubar. Kami menghindari basah dari hujan yang semakin lebat.

Saya dan Tri kembali turun ke dek lima, tidak berharap kasur kosong. Hanya berharap ada tempat lapang membuka tikar kami sembari menunggu hujan. Lagi lagi saya melewati dek tiga, berkarung karung bawang merah aman. Kering dari basah air hujan.

Sayang tak ada tempat, sampai akhirnya kami duduk depan pintu. Awak kapal yang tampaknya iba, memberi kami satu matras di lantai kantin. "Sementara di sini dulu saja. Silahkan mau duduk atau tidur," katanya.

Pukul 08.00 akhirnya hujan berhenti, saya kembali bertemu Pak  Iqram. Ia bertanya dimana saya meneduh. Sedangkan ia memilih tetap di dek enam meski hujan mengguyur. 

Pak Iqram adalah penumpang setia kapal Pelni. Ia sering naik kapal Pelni dengan rute Jakarta-Makassar-Maluku. Menurut pengalamannya kapal Pelni yang berlayar ke arah Barat dalam hal ini Jakarta, akan semakin baik fasilitasnya. Sedangkan semakin ke Timur Indonesia, semakin tak dapat diharapkan fasilitasnya.

Penumpang tertidur di kursi saat berada di KM Leuser PT Pelni dari Ambon menuju Banda Neira. KOMPAS.com/SILVITA AGMASARI Penumpang tertidur di kursi saat berada di KM Leuser PT Pelni dari Ambon menuju Banda Neira.

"Masalahnya kita terlanjur berharap saat ada pemeriksaan tiket, tangan pakai di cap segala. Kita di sini tak ada bedanya dengan barang," kata Pak Iqram. Pikiran saya tertuju pada karung bawang merah yang terlindung dari hujan.

Keluhan penumpang bukan hanya datang dari Pak Iqram. Saya bertemu seorang remaja perempuan yang memilih tidur di dek. "Tak dapat tempat?" tanya saya.

"Ada kakak, saya naik dari Bau Bau. Tapi tidur di ranjang itu panas, pengap sekali. Jadi tak bisa tidur," katanya. Ibu di sebelahnya yang membawa anak mengganguk kencang. Anaknya rewel karena tak dapat tidur di kamar yang pengap.

"Bagaimana pemerintah mau mengejar 20 juta wisatawan kalau transportasi lautnya seperti ini," kata Tri. Tak sedikit wisatawan asing yang menumpang di kapal ini. Muka mereka tampak bingung, lalu lalang di depan tikar saya. 

KM Leuser memiliki rute perjalanan yang cukup panjang. Bermula dari Sulawesi (Makassar), berkeliling Maluku, Papua, kemudian terakhir berlabuh di Jawa (Surabaya). Perjalanan dari Ambon ke Banda Neira untuk kelas ekonomi, yang saya tumpangi dihargai Rp 105.000. Diberi jatah makan pagi dan siang. 

Makassar – Bau Bau – Wanci – Namrole – Ambon – Banda Neira – Saumlaki – Ralat – Tual – Dobo – Timika – Agats – Merauke – Larat – Labuan Bajo – Sape (Bima) – Benoa/Denpasar – Tanjung Perak (Surabaya).

Itulah rute KM Leuser pada November 2017, jika iseng mencari nama daerah tersebut di mesin pencarian Google, yang ditemukan adalah foto-foto surga bahari di Timur Indonesia. Namun ironis, ke sana memang butuh perjuangan ekstra. Penerbangan mahal dan jarang, naik kapal laut membuat kapok.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com