Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Sari Lenggogini
Doktor Pariwisata

Doktor Pariwisata dari Queensland University Australia dan Direktur Pusat Studi Pariwisata Universitas Andalas Padang.

Memahami Selera Wisatawan Milenial

Kompas.com - 18/12/2017, 19:33 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorLaksono Hari Wiwoho

MENARIK mencermati segmen wistawan yang lahir tahun 1980 dan 1990-an, atau biasa disebut dengan wisatawan milenial. Menurut beberapa kajian, ternyata karakter wisatawan milenial adalah mereka yang gemar mencari pengalaman baru, termasuk wisata petualangan, eksplorasi, dan perjalanan darat (road trips).

Mereka cenderung spontan, tak terlalu banyak waktu untuk perencanaan, dan percaya pada ulasan-ulasan destinasi wisata di internet terutama pada media sosial. Maka, tak heran kalau travel blogger menjadi kiblatnya.

Perilaku ini berkembang menjadi tren dan kian menular. Yang tak kalah menarik, rata-rata para wisatawan milenial mengaku bahwa pilihan pelesir mereka adalah untuk mencari pengalaman wisata unik, baru, otentik, dan personal. Salah satu alasannya adalah untuk membuat mereka berbeda dari rekan-rekannya.

Lihat saja data dari Singapore Tourism Board belum lama ini. Hasil riset mereka membuktikan bahwa 31 persen wisatawan milenial Indonesia cenderung mengambil liburan secara mendadak. Angka tersebut jauh lebih tinggi jika dibanding dengan Asia secara keseluruhan yang hanya 19 persen.

Wisatawan milenial Indonesia juga sering terpengaruh oleh pengalaman orang lain. Hal itu terjadi di seluruh jaringan sosial baik offline ataupun online. Begitu juga forum-forum online dan situs-situs review.

Hasil studi Singapore Tourism Board juga membuktikan bahwa turis milenial Indonesia mengandalkan informasi dari mulut ke mulut mengenai tujuan wisata mereka. Kemudian mereka berbagi pengalaman wisatanya melalui media sosial. Perilaku demikian diyakini terus berduplikasi di dunia online, terus menggelinding dan memengaruhi milenial lain.

Fakta menarik lainnya, wisatawan usia 15-29 tahun menyumbang sekitar 23 persen dari wisatawan global pada 2016. Memang, generasi milenial mungkin belum seluruhnya kuat secara finansial, tetapi mereka memiliki banyak waktu untuk melakukan perjalanan.

Wisatawan di generasi ini relatif pemberani dan tidak menyerah pada masalah ekonomi, kerusuhan politik, dan lainnya. Jika ada peluang, mereka akan melakukan perjalanan, mendapatkan pengalaman, dan menyumbangkan tenaga (WYSE 2016).

Oleh karena itu, milenial adalah konsumen wisata yang sangat potensial. Selain jumlahnya yang terus membesar, perilaku wisatanya pun sangat suportif terhadap pertumbuhan dunia pariwisata.

Jika destinasi-destinasi domestik tak sanggup menyesuaikan diri dengan selera meraka, maka anggaran konsumsi pariwisata kaum milenial akan parkir ke negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia, atau Thailand.

Lihat saja data yang dirilis lembaga riset Provetic tahun lalu. Menurut Provetic, potensi konsumsi pariwisata generasi milenial sangat tinggi jika dilihat dari pola mereka menabung dan pola mereka menggunakan dana tabungannya.

Generasi milenial menabung tidak hanya untuk tujuan finansial besar, seperti membeli rumah atau ibadah umrah, tetapi juga untuk pembelanjaan yang bersifat konsumtif, seperti beli tiket konser musik atau untuk keperluan wisata.

Dalam riset berbasis media sosial selama 1 Desember 2015 hingga 31 Januari 2016, Provetic menemukan 41 persen dari 7.809 perbincangan mengenai alasan utama menabung demi keperluan konsumtif tersebut.

Temukan lainnya, sebanyak 38 persen dari 7.757 responden masih menggunakan uang dari ibu atau orangtua mereka dalam melakukan metode pembayaran, selain penggunaan kartu debit yang populer. Menggunakan uang orangtua adalah jalan pintas bagi generasi milenial ketika berhadapan dengan masalah keuangan.

Hal itu mengejutkan karena terlihat bahwa generasi milenial masih kurang menganggap penting manfaat perencanaan keuangan bagi masa depan mereka. Namun, itu juga membuktikan bahwa generasi milenial lebih reaktif dalam menggunakan uang. Sehingga, secara ekonomi pariwisata, milenial akan menjadi pasar yang sangat empuk jika produk-produk pariwisata yang ditawarkan sesuai dengan selera mereka.

Hal senada juga bisa kita temukan dari hasil survei online yang digelar Facebook dan Crowd DNA terhadap seribu responden berusia 13-24 tahun di 2016. Sebanyak 79 persen responden memikirkan mengenai pentingnya menabung, tetapi hanya 62 persen yang benar-benar sudah merencanakan masa depan mereka secara detail.

Dengan kata lain, generasi milenial saat ini lebih pragmatis dan ingin segala sesuatu yang serba instan, termasuk dalam menggunakan uang tabungan.

Imbas positifnya, demand yang tercipta dari generasi milenial justru memacu kemajuan teknologi dengan makin bertumbuhnya berbagai macam aplikasi yang memungkinkan generasi milenial untuk berbelanja dengan mudah dan cepat.

Aplikasi online shopping tumbuh subur, baik dalam bentuk market place seperti Tokopedia, Bukalapak, Elevenia maupun online retail shopping seperti Lazada dan Zalora. Untuk memuaskan adiksi petualangan dan pariwisata, aplikasi pemesanan tiket dan hotel juga tak kalah booming.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com