BANYUWANGI, KOMPAS.com - Para pemuda di Kecamatan Singojuruh Kabupaten Banyuwangi yang tergabung dalam Prasasti menggelar drama kolosal yang berjudul "Mapag Srengenge" Sabtu (16/12/2017). Mapag adalah bahasa Using yang berarti menjemput, sedangkan Srengenge berarti matahari.
Drama yang melibatkan sekitar 80 anak muda tersebut menceritakan tokoh Singomanjuruh yang didampingi dengan Mpu Wiyu. Mereka mencari tempat untuk berkumpulnya para ahli yang mampu mengubah dunia yang gelap gulita menjadi terang benderang.
(Baca juga : Serunya Menyeberang dari Banyuwangi ke Pulau Menjangan Bali)
Pencarian Singomanjuruh terhalang oleh hawa nafsu dan angkara murka dari manusia yang tinggal di bumi. Mpu Wiyu kemudian meminta Singomanjuruh untuk bermeditasi dan mendapatkan petunjuk untuk mengubah dunia menjadi terang benderang dia harus mencari "Sang Surya".
Dengan bantuan Putri Kala, akhirnya Singomanjuruh berhasil menemukan Sang Surya dan juga tempat yang luas berkumpulnya para ahli yang mampu merubah dunia yang gelap gulita menjadi terang benderang dengan hadirnya Sang Surya.
(Baca juga : Mampir ke Banyuwangi, Wajib Cicipi 5 Kuliner Ini)
Adlin Mustika (21) penata gerak sekaligus penata musik pagelaran drama kolosal Mapag Srengenge kepada Kompas.com, Sabtu (16/12/2017) menjelaskan, drama tersebut memang sengaja mengambil tema mencari surya atau matahari karena selama ini keberadaan matahari sering terlupakan oleh umat manusia.
Sementara, prasasti yang dijadikan sebagai wujud janji yang dibuat oleh Singomanjuruh kepada Putri Kala adalah simbol persatuan dan kesatuan.
(Baca juga : Menikmati Kili-kili, Hutan Mangrove Cantik di Banyuwangi)
"Jika semua bersatu maka akan banyak kebaikan yang bisa dirasakan," jelasnya.
Selama 60 menit, pagelaran yang diadakan di ruang terbuka hijau Kecamatan Singonjuruh menyajikan berbagai fragmen yang membuat decak kagum penonton.
Musik dan gerakan yang dinamis mendominasi hampir sepanjang pertunjukkan. Bahkan di tengah-tengah pertunjukan juga disajikan fragmen"Meras Gandrung", yaitu wisuda penari muda menjadi penari gandrung profesional yang piawai menari dan bernyanyi.
Mereka juga memainkan alat musik tradisinoal, mulai angklung, gamelan yang dimainkan secara langsung oleh musisi-musisi muda di Singojuruh. Pagelaran melibatkan 150 pemain terbang atau rebana yang dikenal oleh masyarakat Banyuwangi sebagai kesenian hadrah.
Baca juga : Perayaan 1 Suro di Banyuwangi...
"Walaupun pagelaran ini diadakan di lapangan terbuka kecamatan namun kita tidak ingin menampilkan sesuatu yang biasa-biasa saja. Pagelaran yang berkualitas juga bisa dinikmati oleh masyarakat yang tinggal di desa-desa tidak harus mereka yang tinggal di kota," jelas Muhammad Lutfi, Camat Singojuruh kepada Kompas.com, Sabtu (16/12/2017).
Selama kurang dari satu bulan, menurut Lutfi, anak-anak muda di Singojuruh berlatih untuk menampilkan yang terbaik untuk penonton.
Pagelaran melibatkan mahasiswa STKW Surabaya, hampir 50 persen lebih anak muda yang terlibat dalam pementasan tersebut berasal dari wilayah Singojuruh dan sekitarnya.
(Baca juga : Seblang, Ritual Tari Mistis Berusia Ratusan Tahun di Banyuwangi)
"Ini bukan hanya sekedar pagelaran tapi juga sebagai sarana untuk mengenalkan Singojuruh serta menambah kepercayaan diri para pemuda di sini bahwa mereka bisa berkarya. Dan ini akan menjadi wadah untuk anak-anak muda berkarya dalam bentuk seni tari, drama dan musik tradisional," pungkas Lutfi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.