Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Aji Chen Bromokusumo
Budayawan

Anggota DPRD Kota Tangerang Selatan Fraksi PSI dan Anggota Komisi IV DPRD Kota Tangerang Selatan

Jelajah Yunnan (1): Menemukan “Indonesia” di Kunming

Kompas.com - 09/01/2018, 09:58 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorHeru Margianto


SEJAK lama saya mendengar pesona mistis dan misterius Shangri-la, sebuah wilayah eksotis di Provinsi Yunnan, China. Saya pernah membaca novel dengan judul yang sama yang ditulis oleh James Redfield. Saya juga pernah mendengar cerita soal kota tua Lijiang dari seorang sahabat baik yang pernah bertugas di sana.

Semua bayangan tentang Shangri-la terus menggantung di benak dan membuncah menjadi impian untuk bisa menjelajah dan menulusuri Yunnan.

Beberapa bulan sebelum liburan akhir tahun entah bagaimana ceritanya, saya dan istri tiba-tiba jebret-jebret memutuskan liburan akhir tahun keluarga ke Yunnan. 

Perjalanan ke Yunnan dimulai dari kota Kunming, ibukota Provinsi Yunnan. Kami mendapatkan tiket Xiamen Airline dengan harga cukup bersahabat. Xiamen Airline transit di kota Xiamen, Provinsi Fujian.

Mendengar kata Yunnan saya ingat dua hal. Pertama pelajaran sejarah waktu SD, bahwa nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari Yunnan. Kedua adalah “obat ajaib” yang namanya Yun Nan Bai Yao.

Obat ini saya kenal sejak kecil. Dulu mendiang Papa selalu siap sedia satu kemasan di lemari obat keluarga. Kata Papa ini obat ajaib, penyembuh segala macam luka, infeksi dan sebagainya. Bahkan, konon katanya, di masa perang, bubuk obat ini dibubuhkan di luka tembak.

Balik lagi ke liburan. Singkat cerita, kami berangkat tanggal 21 Desember 2017. Penerbangan pagi jam delapan cukup lumayan, tak terlalu pagi jadi tak perlu subuh-subuh bergegas ke bandara. Penerbangan semua tepat waktu.

Sampai Xiamen, turun dari pesawat, kami harus ambil semua bagasi dan check in lagi pindah ke terminal domestik. Keluar dari pesawat kami disambut dengan bau dan aroma khas Tiongkok di musim dingin.

Kita semua pasti pernah mengalami dan merasakan bau, aroma, dan perasaan tertentu untuk tempat dan waktu tertentu. Misalnya, bau dan aroma Semarang beda dengan Jakarta. Bau dan aroma Eropa beda dengan Tiongkok. Semacam itulah.

Antrean imigrasi tak terlalu lama, dilanjut dengan pengambilan bagasi dan langsung disambung dengan check in untuk penerbangan domestik.

Setelah semua beres, sambil menunggu, kami mengisi perut dan menemukan Starbucks di dekat ruang tunggu pintu keberangkatan ke Kunming.

Singkat cerita, penerbangan malam hari ke Kunming berlangsung lancar dan tepat waktu. Menjelang tengah malam kami sampai ke Kunming.

 

Udara dingin menyergap. Kami segera menangkalnya dengan mengenakan jaket musim dingin yang kami sudah kami siapkan.

Jemputan dari tur setempat yang telah kami pesan sebelumnya sudah menunggu di pintu keluar. Kami diantar ke hotel. Masuk kamar hotel kami segera terlelap.

Menjelajah Yunan

Besoknya petualangan menjelajah Yunnan dimulai dengan rute Kunming, Dali, dan Lijiang.

Yunnan adalah salah satu provinsi di Tiongkok yang terletak di sebelah barat daya. Wilayah Yunnan terbentang seluas 394.100 kilometer persegi atau 4,1 persen dari total luas daratan Tiongkok. Populasi penduduknya diperkirakan sekitar 47 juta jiwa.

Ibukota Yunnan adalah Kunming, dulu juga dikenal dengan nama kota Yunnan. Wilayah Yunan berbatasan dengan Provinsi Guangxi, Guizhou, Sichuan, dan Daerah Otonomi Tibet, juga berbatasan dengan negara Vietnam, Laos, dan Myanmar.

Yunnan terletak di daerah dataran tinggi (plato). Jadi, tak heran kalau suhu di sini dingin sekali. Perbedaan suhu siang dan malam sangat drastis. Siang hari di musim dingin suhu berkisar 13-17 derajat celcius. Malamnya suhu bisa drop mencapai 0 atau minus 1 derajat celcius.

Provinsi ini kaya akan sumber daya alam dan memiliki jenis tumbuhan terbanyak seantero Tiongkok. Dari sekitar 30.000 spesies tetumbuhan dataran tinggi, Yunnan memiliki sekitar 17.000 lebih jenis.

Bukan hanya terkaya akan jenis tetumbuhan dataran tinggi, Provinsi Yunnan juga merupakan provinsi dengan etnis paling beragam. Ada 52 etnis di wilayah itu. Yang paling banyak adalah etnis Han yang mencapai 92 persen populasi.

Yunnan Ethnic Village

Kunjungan pertama kami sekeluarga adalah mengunjungi Yunnan Ethnic Village. Cukup dengan bus umum dari depan hotel, kami sampai ke tempat ini.

Cuaca luar biasa cerah, cenderung panas menyengat menyambut kami di tempat perhentian bus. Dari kejauhan gerbang bertuliskan Yunnan Minzu Cun dalam aksara China nampak cantik.

Suasana etnik menyambut kami di depan gerbang. Ada kios yang menyewakan baju-baju tradisional berwarna cerah untuk berfoto.

Kami terus melangkah menyusuri jalan dengan deretan toko di kanan kiri. Ada toko suvenir, herbal, rumah makan, jamu-jamuan, dan banyak lagi. Kami keluar masuk toko-toko yang menarik minat kami.

Baju tradisional etnis di Yunnan yang disewakan untuk berfoto di Yunnan Ethnic Village.AJI CHEN Baju tradisional etnis di Yunnan yang disewakan untuk berfoto di Yunnan Ethnic Village.

Toko penganan di Yunnan Ethnic Village.AJI CHEN Toko penganan di Yunnan Ethnic Village.

Toko suvenir di Yunnan Ethnic Village.AJI CHEN Toko suvenir di Yunnan Ethnic Village.

Tempat ini luas sekali. Rasanya, tak mungkin kami menjelajahi semuanya seharian. Yunan Ethnic Village mirip dengan Taman Mini Indonesia Indah di Jakarta.

TMII menampilkan miniatur kekhasan masing-masing provinsi di Indonesia, sementara Yunan Ethnic Village menampilkan kekhasan masing-masing etnik di Yunnan. Ada replika desa, bangunan unik, dan berbagai atraksi di tiap anjungan (meminjam istilah TMII) masing-masing etnik.

Enting-enting gepuk

Saat sedang asyik berjalan menikmati suasana, saya bertemu dengan hal yang mengejutkan. Di kejauhan mata saya tertumbuk pada sebuah warung dengan tulisan arab yang sangat familiar dengan keseharian kita di Indonesia yaitu halal. Dalam bahasa mandarin kata halal menjadi “ha liang li”.

Tulisan berlogo halal di salah satu toko di Yunnan Ethnic Village.AJI CHEN Tulisan berlogo halal di salah satu toko di Yunnan Ethnic Village.

Bukan tulisan itu yang mengejutkan saya, tapi apa yang saya temukan di dalam warung tersebut. Di dalam warung terdapat satu gelondong kayu besar dengan dua palu yang juga berukuran besar tergeletak di atas gelondongan itu.

Penjaga toko dengan ramah menawarkan penganan yang dijual di tempat tersebut. Saya mengambil secuil dan mesaukannya ke dalam mulut.

Ah! Saya terperanjat. Rasa penganan itu terasa tidak asing di lidah saya sejak kecil.  Saya tahu persis, ini rasa eting-entik gepuk.  “Kok bisa, rasa enting-enting gepuk ada di sini,” batin saya.

 

Mereka yang tinggal di Semarang dan sekitarnya, terutama Salatiga, tentu tak asing dengan enting-enting gepuk. Di salatiga ada beberapa merek yang terkenal seperti Cap Kelenteng dan 2 holoo, Gedung Batu, Dua Pohon, dan Rumah.

Makanan ini bukan hanya ada di Salatiga. Kita bisa menemukannya juga di Yogyakarta, Medan, Siantar, Surabaya, dan sejumlah kota lain di Indonesia.

Aroma dan rasanya penganan di warung  ini mirip sekali dengan enting-enting gepuk yang kita kenal yaitu manis-gurih dari kacang dan gula. Kata gepuk sendiri adalah bahasa Jawa yang berarti tumbuk.

Ternyata oh ternyata, nama enting-enting gepuk ada sebabnya. Tak berapa lama dua anak muda mengambil dua palu kayu yang tergeletak di gelondongan kayu besar yang saya lihat tadi.

Mereka mulai beraksi sambil bernyanyi dengan alunan nada etnik dan bahasa daerah. Mereka berdua bergantian menggepuk adonan kacang dan gula yang ada di balok kayu itu.

Bunyi bak-bukbak-buk bergantian seakan mengiringi alunan lagu etnik daerah yang merdu di telinga. Nama ‘enting’ atau ‘ting’ atau ‘teng’ (tergantung tempat mana menyebutnya), berasal dari kata ‘tang’ (baca: dang) yang artinya gula.

Dua pemuda memukul adonan kacang dan gula di atas gelondongan kayu di sebuah toko penganan di Yunnan Ethnic Village.AJI CHEN Dua pemuda memukul adonan kacang dan gula di atas gelondongan kayu di sebuah toko penganan di Yunnan Ethnic Village.

Adonan gula dan kacang dipukul di atas gelondong kayu di sebuah toko di Yunnan Ethnic Village.AJI CHEN Adonan gula dan kacang dipukul di atas gelondong kayu di sebuah toko di Yunnan Ethnic Village.

Penganan di salah satu toko di Yunnan Ethnic Village yang rasanya persis sama dengan enting-enting gepuk di Indonesia.AJI CHEN Penganan di salah satu toko di Yunnan Ethnic Village yang rasanya persis sama dengan enting-enting gepuk di Indonesia.

Dalam dialek Hokkian jadi berbunyi ‘theng’, bacanya dengan ‘d’ berat dan ‘e’ seperti dalam kata ‘emas’.

Dalam perkembangannya, biasanya lidah Indonesia akan berubah menjadi ‘e’ seperti dalam kata ‘dendeng’ ditambah dengan medok lidah daerah masing-masing, jadilah ‘enting’ dan menjadi berulang ‘enting-enting’, ‘ting-ting’, ‘teng-teng’.

Baru saya sadar, Yunnan memang sangat erat kaitannya dengan Indonesia. Ada penjual yang berkerudung.  Wajah-wajah di situ adalah wajah-wajah melayu. Bau dan aroma makanan yang dijual terasa akrab di hidung dan mulut. Aroma sate yang dibakar mirip sekali dengan aroma Indonesia, bedanya hanya masalah ukuran.

Aneka suvenir tetabuhan sama persis dengan tetabuhan yang dijual di toko-toko suvenir di seluruh pelosok Bali. Sungguh sayang, karena terbatasnya waktu dan pertimbangan usia dua mertua saya yang turut serta, kami tidak menjelajah seluruh tempat ini.

Danau Dianchi dan Burung Camar

Setelah lumayan puas menjelajah Yunnan Ethnic Village, kami bertujuh berjalan keluar menuju perhentian bus untuk menuju tempat berikutnya.

Sebelum sampai perhentian bus, kami disambut banyak orang yang menawarkan jasa transportasi sekaligus semacam tour guide ala kadarnya. Karena kami bertujuh, hanya satu mobil yang bisa mengakomodasinya.

Sejenis MPV merk lokal dengan pengemudi seorang wanita mengantar kami ke Dianchi Lake, juga disebut dengan Lake Dian and Kunming Lake. Julukan lainnya adalah Sparkling Pearl Embedded in a Highland atau A Pearl on the Plateau.


Dianchi dibacanya tyen je (huruf "e" dalam "tyen" dibaca "e" dalam "dendeng"; sementara dalam "je" dibaca seperti dalam "emas"); bukan dibaca "dyan ji".

 

Danau Dianchi adalah danau air tawar terbesar di Provinsi Yunnan dan terbesar keenam di seluruh Tiongkok. Luasnya 298 kilometer persegi dengan panjang 39 kilometer dari utara ke selatan dan lebar 13 kilometer di titik terlebarnya. Kedalaman danau ini 4,4 meter.

Tepian danau terbentuk dari kaki pegunungan di keempat sisinya. Panjang garis pantainya 163,2 kilometer. Lebih dari duapuluh sungai bermuara di danau ini.

Salah satu atraksi menarik di tempat ini adalah pemandangan ribuan atau mungkin jutaan burun camar di salah satu sisi danau. Burung-burung camar ini konon hanya ada di waktu musim dingin. Mereka berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya.

Atraksi yang ditawarkan di tempat ini adalah foto bersama burung camar. Ratusan fotografer lokal nampak menenteng kamera DSLR dan contoh foto jepretannya menawari para pengunjung untuk foto bersama burung camar. Harganya RMB 25 (sekitar Rp. 50.000) untuk satu foto.

Si fotografer akan memberikan beberapa umpan berupa roti untuk diacungkan ke atas, sementara si fotografer siap menjepret adegan burung camar menyambar atau mematuk roti dari tangan para turis.

Suara burung camar sungguh riuh di angkasa sore hari itu. Yang perlu diperhatikan adalah kejatuhan kotoran burung di kepala, di jaket dan bisa di mana saja. Tisu basah perlu disiapkan untuk situasi seperti ini.

Burung-burung camar beterbangan di atas Danau Dianchi di Kunming, Yunnan, China. THINKSTOCK Burung-burung camar beterbangan di atas Danau Dianchi di Kunming, Yunnan, China.

Lepas dari keindahan danau dan atraksi alami burung camar ini, sungguh sayang bahwa Danau Dianchi tercemar berat. Sebelum tahun 1990 air buangan limbah (industri dan rumah tangga) mencapai 90 persen digelontor langsung ke dalam danau. Baru tahun 1990 pengolahan limbah pertama kali dibangun.

Di tahun 1958-1962 pemerintah Mao Zedong dengan visi Great Leap Forward (Lompatan Jauh Ke Depan)-nya menghancurkan rawa-rawa di sekitar danau yang notabene adalah filter alami. Great Leap Forward mengubah keseluruhan rawa-rawa menjadi area persawahan.

Limbah pertanian juga menjadi kontributor signifikan pencemaran. Air danau ini sama sekali tidak layak minum dan tidak layak diproses untuk jadi air minum.

Jin Ma Bi Ji Square

Jin Ma Bi Ji, bacanya: "cin ma bi ji". Artinya Golden Horse and Jade Rooster. Apa maksud dua gerbang ini didirikan di situ, tak seorang pun tahu. Banyak legenda dan cerita tentang asal usul dan makna dua gerbang itu.

Gerbang Golden Horse ada di timur sementara Gerbang Jade Rooster ada di sebelah barat. Dari sekian banyak legenda dan cerita, sepertinya yang paling masuk akal adalah nama Jin Ma dan Bi Ji adalah nama gunung di dekat Kunming.

Namun ada kepercayaan lain yang menyebut bahwa menurut legenda setempat Golden Horse dan Jade Rooster adalah Dewa Matahari dan Dewi Bulan. Kenapa demikian?

Gerbang Jin Ma Bi Ji.AJI CHEN Gerbang Jin Ma Bi Ji.

Konon dahulu kala ketika gerbang itu masih asli, di satu hari pernah terjadi bayangan dua gerbang itu menyatu di saat Festival Pertengahan Musim Gugur yang jatuh di tanggal 15 bulan 8 penanggalan Imlek dan waktu Autumn Equinox di tanggal-tanggal 22, 23 atau 24 September. Fenomena ini terjadi 60 tahun sekali. Bersatunya bayangan dua gerbang ini terjadi sekitar pukul 17.00 atau 18.00.   

Konon pernah terjadi bayangan dua gerbang itu nyaris bersatu di masa Kaisar Daoguang (1821-1851) dan Kaisar Guangxu (1875-1909). Kaisar Daoguang lah yang membangun gerbang itu kembali setelah hancur di masa peperangan, namun ukuran kedua gerbang tidak sama persis presisi.

Pada tahun 1998 dua gerbang ini direstorasi dan dibangun presisi. Bersatunya dua bayangan gerbang diperkirakan akan terjadi kembali pada 22 September 2029.

Golden Horse dan Jade Rooster ini adalah simbol kota Kunming sejak dulu kala. Orang-orang mengatakan Kunming adalah homeland dari Golden Horse dan Jade Rooster.

Setelah puas foto-foto kami menyusuri jalanan yang memang dikhususkan untuk pejalan kaki. Toko-toko suvenir, obat, herbal, giok, makanan bertebaran di sekitar situ.

Kami memilih satu, memesan beberapa makanan, menikmati makan malam pertama di Yunnan dan segera kami kembali ke hotel untuk beristirahat…

Bersambung…

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com