“Kalau kepercayaannya (orang Tionghoa) emang begitu. Nanti setelah Cap Gomeh baru dibersihkan. Kalau sekarang dibiarkan dulu, paling tempat sembahyangnya yang selalu dibersihkan, sisanya nanti sekaligus makamnya diperbaiki,” kata pria yang sudah 15 tahun menjadi kuncen di pemakaman tersebut.
Usai berkeliling, saya pun hendak bertemu dengan salah satu warga Bekasi yang merupakan keturunan orang Tionghoa, Veny (72). Veny mengaku sudah lama tinggal di Babelan, Kabupaten Bekasi, mulai sekitar tahun 1965.
Nah, bicara soal makam, Veny mengatakan bahwa dalam budaya keluarganya, ketika meninggal tidak harus selalu dimakamkan.
(Baca juga : Kisah Kuburan Orang Minahasa Kuno di Desa Sawangan)
“Nggak selalu dimakamkan, seperti suami saya dikremasi. Itu tergantung permintaan masing-masing orang nantiya jika meninggal mau dikuburkan atau dikremasi,” kata Venny saat ditemui.
“Biasanya akan ke sana dua bulan setelah Imlek. Buat bersihin dan nambahkan tanahnya supaya nggak rendah. Kan kalau nggak dibersihin lama-lama bisa rusak,” ujar Venny.
(Baca juga : Ngeri-ngeri Sedap, Uji Nyali Berlibur ke Kuburan!)
Usai berbincang dengan Veny, saya pun kembali bergegas kembali ke Kota Bekasi. Di perjalanan pulang, saya pun mampir ke kuburan Tionghoa yang ada di Jalan Perjuangan, letaknya dekat dengan gerbang masuk Perumahan Wisma Asri.
“Luasnya sih sekitar empat hektar. Ada makam orang Tionghoa, tapi disebelahnya ada juga makam orang-orang Muslim,” kata Ketua Yayasan Pancaran Tri Dharma, Ronny Hermawan.
(Baca juga : Makam Pemimpin di Batu Tering)
Dia menjelaskan, pemakaman milik yayasan tersebut pun tidak menarik iuran setiap bulan atau tahunan. Pemakaman yang mayoritas diisi oleh keturunan Tionghoa ini dikelola secara sosial.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.