Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menjelajahi Desa Tenun di Manggarai Timur, Flores (3)

Kompas.com - 18/02/2018, 09:11 WIB
Markus Makur,
I Made Asdhiana

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Kami menyeberangi dua kali besar menuju Desa Cendana Legurlai, Kecamatan Elar, Kabupaten Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur, Senin (29/1/2018).

Dua kali besar yang menghubungkan Desa Gololebo dan Legurlai adalah Kali Wae Wareng dan Kali Wae Pesa. Namun, dua kali besar itu berada di wilayah Desa Legurlai. Dua kali besar itu dari arah Desa Kaju Wangi dan Desa Gololebo.

Sejak masih satu dengan Kabupaten Manggarai sampai pemekaran Kabupaten Manggarai Timur, dua kali besar itu belum dibangun jembatan permanen. Padahal, jalur itu merupakan jalur perekonomian warga setempat.

Kampung Marabola merupakan kampung transmigrasi lokal (translok) sejak 1994 yang saat itu masih bergabung dengan Kabupaten Manggarai, sebelum dibagi menjadi Kabupaten Manggarai Timur dan Manggarai Barat.

Selama ini orang sering mengenal pohon cendana berasal dari Pulau Timor. Kini, kampung yang berada di sudut Kabupaten Manggarai Timur menyimpan kekayaan yang mengharumkan nama Manggarai Timur.

Namun, yang mengetahui Desa Cendana Legurlai adalah para tengkulak. Para tengkulak dari Kabupaten Ngada dan Manggarai Timur juga Manggarai serta orang lokal sendiri mengenal Desa Cendana Legurlai di kampung Marabola. Alasannya di kampung itu terdapat ribuan pohon cendana.

Perkampungan di Flores, Nusa Tenggara Timur.KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Perkampungan di Flores, Nusa Tenggara Timur.
Hari Senin (29/1/2018), saya mendengar cerita lisan dari Paskalis Peli Purnama tentang ribuan pohon cendana di kampung paling ujung dari Kabupaten Manggarai Timur.

Saya ditantang dengan cerita lisan itu. Saat itu saya sedang melakukan peliputan khusus tentang Kecamatan Elar yang masih sangat tertinggal dari sisi infrastruktur jalannya.

Selain itu, Kecamatan Elar dan Elar Selatan menjadi sorotan utama media massa, baik media cetak, online dan elektronik selama ini.

Saya pernah menerima surat tembusan dari sekelompok imam dan tokoh masyarakat yang ditujukan kepada Presiden Republik Indonesia serta kumpulan mahasiswa asal Elar dan Elar Selatan yang tersebar di seluruh Indonesia ke Gubernur NTT. Inti dari surat itu menyoroti infrastruktur jalan yang rusak parah di dua wilayah itu.

Berdasarkan data itu maka saya sebagai seorang jurnalis ditantang untuk melihat sendiri fakta dan kenyataan yang dialami warga Kecamatan Elar dan Elar Selatan. Fakta itu benar bahwa kondisi infrastruktur jalan di dua wilayah itu masih minim perhatian dari pemerintah setempat.

Perempuan Flores di Kabupaten Manggarai Timur, NTT sedang menenun, Senin (29/1/2018).KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Perempuan Flores di Kabupaten Manggarai Timur, NTT sedang menenun, Senin (29/1/2018).
Kembali ke tantangan cerita lisan Paskalis Peli Purnama dan warga Elar, maka saya bersama dengan Benediktus Adeni (sopir), Levi Betaya, Paskalis Peli Purnama dan tua adat, Yakobus dari Kampung Tetes, Desa Golo Munde memulai perjalanan dari Elar, ibu kota Kecamatan Elar menuju ke Kampung Bui, Desa Kaju Wangi.

Kami berjumpa dengan ibu-ibu yang sedang menenun, baik di bawah kolong rumah panggung maupun di dapur. Kami singgah di rumah tua teno di Kampung Bui, Geradus Kandang bersama anak dan istrinya.

Kami disuguhkan sirih pinang sebagai tanda penghormatan kepada tamu yang datang. Mata saya terkejut dengan melihat peralatan tenun yang disimpan di ruangan tamu rumah itu.

Selanjutnya kami berbincang-bincang sambil mengumpulkan data untuk bahan liputan. Berbagai persoalan infrastruktur jalan selalau diungkapkan warga setempat. Kami juga disuguhkan kopi kaju wangi. Suguhan minuman kopi merupakan kebiasaan warga setempat maupun Manggarai Raya untuk menyambut tamu yang berkunjung.

Setelah selesai minum kopi, kami bergegas menuju ke Desa Gololebo, di mana tujuan utama kami hari itu adalah tembus Kampung Marabola untuk mengumpulkan bahan liputan tentang pohon cendana yang diceritakan sebelumnya.

Perkampungan di Flores, NTT.KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Perkampungan di Flores, NTT.
Mobil Estrada yang cocok melintasi jalan rusak akhirnya berhenti di tengah jalan karena tidak mampu melintasi jalan berlubang yang terbawa banjir akibat hujan deras di wilayah itu dalam beberapa bulan terakhir.

Sebelum tiba di kampung itu, kami menyeberangi dua kali besar. Beruntung kali belum banjir. Apabila kalinya banjir maka kami memutuskan untuk kembali ke Elar.

Jalan dari Desa Kaju Wangi menuju wilayah Desa Gololebo sudah dipasang batu. Setiba di tengah jalan, kami  melintasi jalan tanah dan berlumpur. Sopir yang memiliki nyali besar mengingatkan kami agar tidak meneruskan perjalanan dengan kendaraan. Kami sepakat kendaraan diparkir, lalu kami jalan kaki menuju kampung Marabola. Kami tiba pukul 15.30 Wita.

“Hari itu kami cukup beruntung bahwa tuan rumah yang akan kami kunjungi berjumpa di tengah jalan. Nama tuan rumah yang akan kami kunjungi adalah Valentinus D Nangi. Dia hendak ke kebunnya. Akhirnya dia kembali bersama kami menuju rumahnya di kampung Marabola, Desa Legurlai, Kecamatan Elar.

Setiba di rumahnya, kami disambut dengan penuh hangat sebagai sesama saudara. Selanjutnya, dilangsungkan ritual adat untuk meminta izin masuk di wilayah perkampungan Marabola. Tak lama kemudian, kami disuguhkan kopi marabola.

Selesai minum kopi, saya mulai mengumpulkan bahan liputan tentang informasi pohon cendana.

Kampung di Flores, Nusa Tenggara Timur. Kampung di Flores, Nusa Tenggara Timur.
Valentinus N Nangi kepada KompasTravel, Senin (29/1/2018) sekitar pukul 16.15 Wita menjelaskan, warga Kampung Marabola, Desa Legurlai merupakan warga transmigrasi lokal berasal dari Kabupaten Manggarai sejak 1994, saat itu masih satu kabupaten, sebelum dimekarkan menjadi Kabupaten Manggarai Timur.

Saat itu, warga dibawa oleh Romo Simon Nama, Pr. Lalu, sejak 1995, Ibu Maria Mue dari Bajawa memperkenalkan bibit pohon cendana kepada warga transmigrasi. Akhirnya, sejak 1995, warga menanam pohon cendana yang sangat terbatas.

Dalam perjalanannya, pohon cendana terus berkembang dan tumbuh subur di wilayah Kampung Marabola. Pohon Cendana menjadi penopang kehidupan keluarga selain tanaman holtikultura lainnya.

Nangi menjelaskan, pohon cendana berkembang biak melalui perantaraan burung sehingga pertumbuhan pohon itu semakin tahun semakin banyak.

“Kami bersyukur dan berterima kasih kepada Romo Simon Nama yang membawa kami ke tempat subur ini juga kepada Ibu Maria Mue yang memperkenalkan pohon cendana kepada warga transmigrasi lokal di Kampung Marabola. Dua tokoh ini selalu ada di hati warga Kampung Marabola. Selanjutnya warga Desa Legurlai menanam pohon cendana di lahan masing-masing,” ungkapnya.

Persawahan di Flores, Nusa Tenggara Timur.KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Persawahan di Flores, Nusa Tenggara Timur.
Secara terpisah, Hilarius Syukur dan Laurensius Paka, dua warga Kampung Marabola kepada KompasTravel di rumah Valentinus N Dangi menjelaskan, ada sekitar 20.000 pohon cendana di wilayah Desa Legurlai yang ditanam sendiri oleh warga setempat. Tak terhitung jumlahnya di desa lain di seluruh Kecamatan Elar. Syukur mengatakan, dirinya memiliki 300 pohon cendana di lahannya.

“Kami menjual kepada para tengkulak yang datang langsung di kampung ini. Harga satu pohon berkisar Rp 800.000 sampai Rp 1.000.000. Itu pun para tengkulak sendiri yang menebang pohon itu. Pohon cendana sebagai sumber pendapatan ekonomi keluarga untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan membiayai anak sekolah sampai tingkat perguruan tinggi,” jelasnya.

Syukur dan Paka menjelaskan, ada 115 kepala keluarga serta 400 jiwa warga Kampung Marabola.

Kepala Desa Legurlai, Frederikus Maksimus N Rawan kepada KompasTravel mengatakan Desa Legurlai, Kecamatan Elar terkenal dengan pohon cendana. Untuk itu saya berani mengatakan bahwa Desa ini disebut Desa Cendana Legurlai.

Selain pohon cendana, lanjut Maksimus, desa ini juga terkenal dengan penghasilan kacang hijau. Warga di desa ini mampu menghasilkan ratusan ton kacang hijau, juga ada kopi jember dan tembakau. Hanya sayangnya, desa ini masih minim perhatian dari akses jalan yang memadai.

Jalan berlumpur di Wilayah Elar, Kabupaten Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur, Minggu (28/1/2018).KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Jalan berlumpur di Wilayah Elar, Kabupaten Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur, Minggu (28/1/2018).
Jalan kabupaten sepanjang empat kilometer. Jalan Toang-Pongkos sepanjang sembilan kilometer hanya disusun batu, juga dari cabang Pongkos-Marabola sepanjang lima kilometer masih dipasang batu. Belum ada sentuhan aspal di wilayah desa ini. Bahkan, dua jembatan menuju ke kampung Marabola belum dibangun.

"Saya merencanakan membangunnya dengan dana desa, namun, saya tetap waspada dengan regulasi. Saya akan berkonsultasi dengan pihak yang lebih tinggi agar dua jembatan ini bisa dibangun dengan menggunakan dana desa," kata Maksimus.

Terpisah dua warga Kampung Tetes, Desa Golo Munde, Silvanus Asar dan Bernadus Dandung kepada KompasTravel saat dijumpai di lokasi persawahan menjelaskan, infrastruktur jalan di seluruh Kecamatan Elar masih minim perhatian. Warga sangat menderita dengan kondisi jalan yang belum baik. Warga mengambil padi di persawahan Gising harus melewati jalan buruk.

“Kami berharap ada perhatian serius dari pemerintah setempat. kami membutuhkan akses jalan yang bagus demi kelancaran lalu lintas perekonomian ke pasar maupun ke Kota Borong, ibu kota Kabupaten Manggarai Timur maupun Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai untuk menjual hasil perdagangannya. Pak sendiri merasakan bagaimana beratnya perjalanan dari Kota ke Kecamatan Elar,” katanya.

Selain itu warga Dusun Nao, Desa Compang Soba, Tadeus Ranus, Selasa (30/1/2018) kepada KompasTravel, menjelaskan, akses jalan menuju sejumlah desa di wilayah ini masih sangat rusak parah. Jalan masuk dari pertigaan Gereja Mombok sampai di Desa Compang Soba masih jalan tanah, walaupun ada sebagian sudah di pasang batu, namun, jalannya sudah rusak lagi.

“Saya merasakan sendiri jalan yang rusak. Untuk itu saya berharap ada perhatian yang serius dari pemerintah setempat,” harapnya.

Perjalanan menuju Wilayah Elar dan Elar Selatan, di Kabupaten Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur, Minggu (28/1/2018).KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Perjalanan menuju Wilayah Elar dan Elar Selatan, di Kabupaten Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur, Minggu (28/1/2018).
Warga Kampung Puncak Weong, Desa Rana Gapang, Donatus Jalu menjelaskan, akses jalan ke Kampung Puncak Weong, Desa Rana Gapang masih jalan tanah. Sejak kemerdekaan sampai dengan Presiden Soeharto dan Presiden Sekarang belum ada perhatian yang serius terhadap akses jalan ke kampung yang berada di puncak Weong ini.

“Kami bersyukur ada seorang wartawan mampu mengunjungi kampung Puncak Weong agar suara kami disalurkan kepada pemerintah Indonesia. Baru tahun 2018 ini seorang wartawan berani sampai di Kampung Puncak Weong yang sangat tertinggal. Anak-anak menuju Sekolah Menengah Pertama dan Atas dari kampung ini harus berjalan kaki sepanjang empat kilometer. Kalau pergi-pulang ditempuh delapan kilometer. Baru beberapa meter saja yang sudah disusun batu. Saat musim hujan seperti sekarang. Akses jalan penuh dengan lumpur ditambah dengan longsor kiri kanan jalan. Tolong salurkan suara kami kepada pemerintah pusat agar memperhatikan akses jalan ke Kampung Puncak Weong,” harapnya.

Sementara Bupati Manggarai Timur, Yoseph Tote saat di wawancara KompasTravel di pintu masuk Kantor Bupati Lehong didampingi Kepala Badan Keuangan Daerah, Boni Hasudungan bersama ajudan Bupati pada Januari 2018 seusai Natal dan Tahun Bersama Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai Timur ketika ditanya soal surat terbuka dari Imam dan tokoh Masyarakat dari wilayah Kecamatan Elar menjelaskan, silakan menyurati Presiden atau di atasnya.

Akses jalan ke wilayah Elar dan Elar Selatan sudah diatur dalam Undang-Undang bahwa akses jalan itu adalah jalan propinsi. Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai Timur tidak mau melanggar regulasi yang ditentukan Undang-Undang.

Padang rumput di Flores, NTT.KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Padang rumput di Flores, NTT.
“Saya tidak mau melanggar regulasi yang sudah ditentukan Undang-Undang. Memang sebagian jalan kabupaten sudah diurus oleh pemerintah setempat sesuai dengan kemampuan keuangan daerah. Anggaran keuangan daerah 2018 ini lebih banyak untuk membiayai Pemilihan Umum Kepala Daerah Manggarai Timur 2018 senilai kurang lebih Rp 40 miliar. Kita tetap memperhatikan jalan di seluruh Manggarai Timur,” jelasnya.

Menyimpan Warisan Leluhur

Wilayah Kecamatan Elar dan Elar Selatan, Kabupaten Manggarai Timur menyimpang warisan leluhur. Ritual-ritual adat masih terjaga dengan baik. Selain itu, kain tenun khas Rembong dan Biting masih terus dilestarikan oleh kaum perempuan di wilayah itu.

Juga wilayah itu dikenal dengan wilayah toleransi karena hidup berdampingan umat islam dan Katolik. Selain itu ada Gereja tua yang kini sudah usia 75 tahun lebih. Bahkan, ada bahasa rembong yang sudah dibukukan oleh missionaris dan warga setempat.

Suasana pedesaan di Kecamatan Elar, Kabupaten Manggarai Timur, Flores, NTT, Senin (29/1/2018).KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Suasana pedesaan di Kecamatan Elar, Kabupaten Manggarai Timur, Flores, NTT, Senin (29/1/2018).
Selain itu ada kampung bersejarah yang pernah ditulis Frans Sarong di Kompas. Nama kampung bersejarah itu adalah Kampung bersejarah Bukit Tuwit. Dan masih banyak warisan budaya yang bisa mendunia. Bahkan, ada sebuah tempat yang diteliti oleh Pater Otto Vollerzt, SVD. 

(Bersambung...)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com