Bukan jalan yang mulus bagi Azmi untuk mengumpulkan segala literatur Tionghoa. Azmi dianggap aneh oleh banyak orang. Mengumpulkan buku dan barang bertema Tionghoa.
"Persepsi (orang-orang) kaget lah jelas. Orang tua saya senyam senyum saja. Mereka tahu siapa anaknya. Bapak saya buka pesantren. Dia mengajarkan saya kebaikan. Bagi saya ini adalah kebaikan yang masih kosong yang jarang dikerjakan orang, saya mulai dari rumah," kata Azmi.
Azmi juga berupaya untuk menjaga istri dan empat orang anak dari persepsi negatif orang-orang.
"Keluarga sudah bisa menerima dan mereka menjadi bagian dari museum ini. Keluarga mulai terbentuk, sekarang mereka menganggap bagian dari ini," kata Azmi.
Bahkan saat berinteraksi dengan komunitas Tionghoa untuk mencari buku atau diskusi grup, tak jarang Azmi dipandang heran. Sampai akhirnya ia menjelaskan maksud dan tujuan sehingga dirinya diterima dengan baik. Ada banyak persahabatan Azmi dan kawan Tionghoa yang terjalin karena museum ini.
Ia kukuh tidak mau menerima donasi atau sumbangan dalam bentuk apa pun dari orang Tionghoa untuk mengelola Museum Pustaka Peranakan Tionghoa. Meski Azmi sendiri mengaku agak kesulitan mengelompokkan koleksi museum.
"Museum ini adalah balas jasa bagi orang Tionghoa yang banyak berjasa dari sebelum Indonesia merdeka sampai setelah merdeka," ujar Azmi.
Akhirnya benang merah antara Azmi dan Tionghoa terjawab. Saya lantas izin berkeliling melihat koleksi Museum Pustaka Peranakan Tionghoa. Di bagian belakang museum saya tertegun, melihat sajadah biru terlipat rapi di antara tumpukan buku dan kertas kuno tentang Tionghoa.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.