Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Melihat Lenggok Tarian ala Keraton Yogyakarta

Kompas.com - 21/03/2018, 11:42 WIB
Muhammad Irzal Adiakurnia,
Sri Anindiati Nursastri

Tim Redaksi

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Sebuah keraton memang menyimpan banyak sejarah. Tak hanya bangunan dan peralatan kerajaan yang membuat wisatawan kagum, tapi juga keseniannya.

Keraton Yogyakarta merupakan salah satu keraton yang masih menjaga apik kesenian tradisionalnya. Bahkan kini dikemas rapi untuk menarik wisatawan mancanegara maupun domestik.

Menurut salah satu keluarga keraton yang bertugas mengelola wisata Keraton Yogyakarta, Triherman Kusumarini, kini berbagai kesenian yang biasa disuguhkan pada sultan atau tamunya, sebagian bisa dinikmati oleh wisatawan.

"Awalnya ini selain untuk pelestarian, juga banyak yang memang ingin lihat untuk keperluan pendidikan, seperti penelitian dari Belanda itu yang banyak," ungkapnya kepada KompasTravel, Minggu (11/3/2018).

Penasaran dengan kemasan seni ala keraton yang kini bisa dilihat umum, KompasTravel bersama rombongan Yogyakarta Marriott Hotel, mengunjungi tempat dipentaskannya berbagai kesenian keraton tersebut. Tempat itu ialah Bangsal Sri Manganti.

Pemain gending gamelan saat mengiringi tarian Golek Alun-alun di Keraton Yogyakarta, Minggu (11/3/2018).KOMPAS.com/MUHAMMAD IRZAL ADIAKURNIA Pemain gending gamelan saat mengiringi tarian Golek Alun-alun di Keraton Yogyakarta, Minggu (11/3/2018).
"Di Bangsal Sri Manganti memang salah satu tempat sultan menjamu tamu dengan kesenian, juga kalau ada pentas internal keraton dilaksanakan di sini," kata Kusumarini.

Bangunan yang tidak jauh dari pintu masuk utama bangunan Keraton DIY ini berbentuk seperti pendopo besar. Terlihat jejeran set gamelan jawa lengkap terpampang. Jam sudah menunjukkan pukul 10.45 WIB, sebentar lagi waktunya penampilan tari dimulai.

Setiap hari minggu, wisatawan bisa melihat dua penampilan tari di sini. Yaitu tarian Golek Ayun-ayun dan Bedoyo Jati Purno.

Wisatawan mancanegara dan nusantara sudah memenuhi kursi penonton, bahkan hingga berdiri mengelilingi bangsal untuk menonton. Terlihat ada yang membawa catatan not lagu gamelan, ada yang memegang alat perekam, dan tentunya memegang kamera.

Hebatnya pembawa acara di sini memandu penonton dengan tiga bahasa yakni bahasa Jawa, Indonesia, dan Inggris.

"Tarian pertama tarian Golek Ayun-ayun menggambarkan wanita saat masa remaja menuju wanita yang ayu berwibawa ketika dewasa," tutur pembawa acara lewat pengeras suara.

Penampilan tarian di Keraton Yogyakarta, Minggu (11/3/2018).KOMPAS.com/MUHAMMAD IRZAL ADIAKURNIA Penampilan tarian di Keraton Yogyakarta, Minggu (11/3/2018).
Gerakan yang enerjik dan riang, menurutnya, menandakan tarian ini menggambarkan proses kehidupan remaja yang periang dan penuh semangat. Tarian yang menampilkan 12 penari ini berlangsung selama 10 menit.

Tarian kedua bernama Bedoyo Jati Purno menggambarkan Dewi Sri yang prihatin dengan keadaan bumi yang banyak kekacauan dan kerusakan. Kemudian dewi yang digambarkan sebagai "kemakmuran" tersebut turun untuk menyeimbangkan alam.

Tarian kedua ini temponya lebih lambat, gerakan demi gerakan lemah gemulai pun memanjakan wisatawan yang menyaksikannya. Penampilan puluhan penari tersebut berdurasi 25 menit, jauh lebih lama dari sebelumnya.

Selepas penampilan kedua tarian tersebut wisatawan bisa kembali berkeliling keraton. Ada juga wisatawan yang memilih mencoba gamelan, berfoto dengan para penari, hingga berbincang dengan para sinden.

Untuk menyaksikan ragam kesenian Keraton Yogyakarta di sini, wisatawan tak perlu membeli tiket lagi. Wisatawan bisa langsung masuk dengan tiket awal yang dibeli saat masuk area wisata keraton sebesar Rp 8.000.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com