Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Liya Togo, Sisi Lain Wakatobi yang Perlu Dijelajahi

Kompas.com - 26/03/2018, 15:45 WIB
Kontributor Pangkalan Bun, Nugroho Budi Baskoro,
I Made Asdhiana

Tim Redaksi

WAKATOBI, KOMPAS.com - Pohon-pohon singkong, kedondong, dan asam, tumbuh di sela-sela bebatuan, hanya beberapa puluh meter dari pantai. Cekungan teluk kecil pantai biru, berair tenang, dan transparan itu tampak dari sana.

Itulah salah satu sudut Desa Liya Togo, di sisi selatan Pulau Wangi-Wangi, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Dari sanalah, bahan baku makanan tradisional khas masyarakat Wakatobi diperoleh.

Singkong adalah bahan baku untuk membuat kasoami. Sementara kedondong, tidak saja buahnya yang diperlukan, tapi juga daunnya, sebagai salah satu pelengkap parende, sejenis sayur asam.

Baca juga : Keindahan Wakatobi Membuat Penasaran Turis China

Sebelum beras, masyarakat Liya Togo mengandalkan kasoami sebagai makanan pokok. Kasoami merupakan makanan yang pengolahannya diparut, diperas, dan dikukus, sebelum tersaji sebagai makanan yang bisa dibubuhi sayur dan lauk apa saja.

Gerbang Benteng Liya, warisan budaya Kesultanan Buton, di Pulau Wangi-Wangi, Waktobi, Sulawesi Tenggara.KOMPAS.com/BUDI BASKORO Gerbang Benteng Liya, warisan budaya Kesultanan Buton, di Pulau Wangi-Wangi, Waktobi, Sulawesi Tenggara.
Mursida, pemandu wisata di Liya Togo, menyebut di kampungnya itu nasi awalnya hanya menjadi pengganti kasoami.

"Dulu nasi hanya di hari-hari besar. Sebelum Ramadhan, dan pas masuk Ramadhan. Beras ada karena kita harus buat Lapa," tutur Mursida pada Kompas.com, tengah pekan ini.

Baca juga : Prosesi Adat Kansodaa, Kebanggaan Seorang Perempuan Wakatobi

Namun, untuk menanam padi di daerah ini tidak mudah. Cangkul dan bajak sudah pasti tak bisa digunakan untuk menggemburkan tanah.

La Isa (70), petani Liya Togo membeberkan, untuk menanam singkong, mula-mula ia harus menyisir celah-celah di antara bebatuan. Di celah-celah batu itu lalu dibuat lubang, menggunakan linggis. Selanjutnya, lubang itu diisi dedaunan kering, sebagai unsur penyubur dan perekat dengan tanah.

Baca juga : Jokowi Minta Potensi Wisata Wakatobi Dioptimalkan

Kebiasaan hidup sehari-hari masyarakat Liyo Togo seperti ini bisa menjadi salah satu alternatif jalan-jalan di Wakatobi, selain tentu saja alam bawah lautnya.

Tanaman warga Liya Togo, Pulau Wangi-Wangi, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, yang harus ditanam di sela-sela batu.KOMPAS.com/BUDI BASKORO Tanaman warga Liya Togo, Pulau Wangi-Wangi, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, yang harus ditanam di sela-sela batu.

Warisan Kesultanan Buton

Di Liya Togo, wisatawan tak hanya dapat menyaksikan sisi laut dari Wakatobi. Selain bisa melihat dari dekat kehidupan masyarakatnya, wisatawan dapat mengunjungi situs masjid dan makam dalam Benteng Keraton.

Dahulu, Wakatobi merupakan bagian dari wilayah Kesultanan Buton. Dan di Liya Togo inilah, kepanjangan tangan pemerintahan Sultan Buton itu berlangsung.

Di sini, selain masjid, juga terdapat situs budaya berupa bangunan yang disebut baruga. Bangunan kayu ini merupakan tempat masyarakat bermusyawarah, yang dipimpin oleh seorang Miantu, sebutan untuk pimpinan adat di sini.

Memasuki kawasan situs sejarah dan budaya ini, ada ketentuan yang harus dipatuhi pengunjung. Seperti halnya tamu yang harus memakai sorjan dan kemben saat hendak mengunjungi situs warisan Mataram di Kotagede, Yogyakarta, hal serupa juga diberlakukan di sini.

Kasoami, makanan pokok masyarakat Wakatobi yang berbahan baku singkong.KOMPAS.com/BUDI BASKORO Kasoami, makanan pokok masyarakat Wakatobi yang berbahan baku singkong.
Di Liya Togo, tamu diwajibkan mengenakan sarung dari kain tenun khas setempat. Kaum pria wajib mengenakan sarung layaknya tradisi Melayu, hanya dengan ukuran yang lebih panjang, di bawah lutut.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com