Menurutnya, ada 11 lagu Gandrung yang saat itu direkam antara lain Delimoan, Chandra Dewi dan Seblang Lukinto.
Dia mengaku hanya dibayar Rp 250.000 tanpa ada kontrak kerja sama. Selain itu, dia hanya mendapatkan sampul album Songs Before Dawn yang di pigura dan sempat dipajang di dinding rumahnya.
Selama bertahun-tahun, dia tidak mengetahui jika suara emasnya dijual di sejumlah situs bisnis di Amerika dan Eropa.
"Saya nggak mau bahas itu. Biar saja. Dulu janjiannya direkam untuk kegiatan penelitian tapi saya sempat dengan katanya dijual. Yang penting saya bisa menghibur banyak orang. Saya nggak masalah nggak dapat apa-apa. Tuhan tidak tidur," jelasnya.
Gandrung Temu sempat berhenti menjadi Gandrung ketika dia menikah di usia 18 tahun. Namun pernikahan itu hanya bertahan selama dua tahun. Dia kembali menikah pada tahun 1977 namun kembali lagi bercerai karena suami keduanya cemburu dan suka memukul.
"Tidak semua orang bisa punya anak tapi saya seneng bisa ngangkat anak dan menyekolahkan hingga SMA. Dia tuna wicara, tapi saya pernah menganggap dia anak angkat," katanya.
Pada tahun 1982 dia membuka toko kelontong kecil di depan rumahnya dan akhirnya tutup pada tahun 2006 karena penghasilannya sebagai Gandrung berkurang dan modal tidak berputar.
Masa kejayaannya meredup awal tahun 2000-an. Semakin lama, panggilan tanggapan untuk menari semakin sepi karena kalah dengan dangdut electone. Bahkan Gandrung Temu pernah tidak mendapatkan job sama sekali dalam sebulan.
Ia kemudian banting setir mengurusi sawah dan memelihara ayam di belakang rumahnya yang sederhana untuk mencukupi kebutuhannya sehari-hari. Ayam-ayam peliharaannya tersebut dijual jika ada warga yang akan membuat pecel pitik untuk selamatan.
"Kalau dulu kan buat pecel pitik hanya selamatan atau lebaran sekarang hampir tiap hari ada yang buat karena banyak wisatawan yang datang. Jadi belinya ke saya. Walaupun nggak banyak ya disyukuri saja," ceritanya.
Selain itu, dia juga mengajari anak-anak menari Gandrung di halaman rumahnya setiap hari Minggu. Bahkan dia juga telah melatih dan mencetak para penari Gandrung profesional seperti dirinya.
Pada tahun 2015, Gandrung Temu sempat menari dan tampil di Jerman mewakili budaya Banyuwangi dan sempat beberapa kali tampil di Jakarta untuk misi kebudayaan.
"Menjadi Gandrung itu nggak gampang. Kita harus bisa jaga diri karena tampil di hadapan orang. Kalau dulu jarak penari dengan penonton bisa satu meter bukan kayak sekarang yang deket-deketan malah kadang saya risih melihatnya," katanya.