Kadang ada keluarga yang pesan atau membeli benang untuk ditenun. Nuria juga bisa menenun kain bermotif Congkar untuk pakaian jas. Harga untuk kain jas Congkar Rp 350.000 per lembar.
"Selama ini biaya beli bahan dan hasil jualnya tetap ada keuntungan. Itu yang membuat saya terus menekuni keterampilan ini walaupun tidak ada perhatian dan bantuan dari pemerintah setempat. Saya usaha sendiri karena warga seluruh Kecamatan Sambirampas selalu memakai kain Congkar untuk upacara-upacara adat," katanya.
Odalia Biba (50), warga Kampung Mui, Desa Kajuwangi, Kecamatan Elar kepada KompasTravel pada pertengahan Maret 2018 menjelaskan, dirinya menenun kain motif Mbay dan Rembong di bawah kolong rumah.
Menurut Biba, yang mudah dijual adalah kain motif Mbay. Sementara kain motif Rembong dijual di sekitar kampung dengan harga murah. Itu pun dibeli saat ada ritual adat dan upacara perkawinan di sekitar kampung.
"Kaum perempuan di Kampung Mui tetap menenun kain motif Rembong demi merawat warisan leluhur walaupun pasarnya tidak ada. Kaum perempuan menenun motif Rembong karena ini merupakan identitas budaya dari etnis Rembong di Kecamatan Elar. Jadi yang masih merawat warisan leluhur untuk sebuah identitas budaya adalah kaum perempuan, walaupun minim perhatian pemerintah setempat," katanya.
Biba menjelaskan, kaum perempuan menjual kain tenun Mbay sangat bervariasi dari harga Rp 250.000 sampai Rp 500.000. Kalau motif Rembong berkisar dari Rp 500.000 sampai Rp 1.000.000 dengan ukuran masing-masing. Jika ukurannya panjang maka harga juga mahal.
Harga terendah kain tenun motif Rembong sebesar Rp 500.000. Selama ini kain tenun motif Rembong dijual di sekitar kampung saja saat ada upacara-upcara adat maupun upacara kematian dan perkawinan.
Kaum perempuan tertarik menenun kain motif Mbay karena pasarnya ada di Kabupaten Ngada dan Nagekeo. Juga pembeli dari dari Kabupaten Ngada dan Nagekeo langsung memesan ke para penenun di kampung-kampung di sekitar Kecamatan Elar.
"Menenun untuk mengisi waktu senggang. Pekerjaan utama adalah merawat kebun, menanam padi dan memetik kopi saat musimnya tiba. Apabila musim menanam tiba maka kaum perempuan tidak menenun," katanya.
Emilia menjelaskan, hasil tenun yang dijual dipakai untuk keperluan biaya sekolah anak-anak dari tingkat SD sampai perguruan tinggi serta biaya kesehatan.
"Saya bisa menenun berkat hasil didikan ibu saya. Biasanya ibu saya mengajak untuk melihat proses menenun selanjutnya. Walaupun kami hanya lulusan SD tetapi saya mampu menangkap apa yang diajarkan oleh ibu secara langsung," katanya.
"Mempromosikan keunikan kain tenun di Manggarai Timur harus didukung dengan jalan raya yang baik. Saya bertekad untuk membuka keterisolasian dimulai dari jalan raya yang baik di seluruh pelosok Manggarai Timur," kata Fransiskus Sarong.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.