"Regenerasi anak muda sekarang sudah tidak mau membatik, anggapannya lama terjual. Kalau zaman saya 70-an akhir, wanita wajib bisa membatik buat suaminya, sebelum SD sudah diajari," katanya.
Ia berpendapat, jika ini terus terjadi kurang dari 10 tahun lagi, batik batang terancam hilang.
Hal ini disebabkan masyarakat menganggap memproduksi batik itu lama untungnya. Prosesnya yang lama juga sulit membuat harganya mahal, dan akhirnya lama terjual.
"Membuat satu motif batik batang asli itu butuh enam bulan. Ada yang satu bulan satu batik," ujarnya.
Namun, ia berpikir batik ini telah memberi pelajaran banyak pada masyarakat, dan sudah sewajarnya diselamatkan dan dilestarikan.
Akhirnya Tin pun membuat kelompok usaha bersama (KUB) Tunas Cahaya, yang beranggotakan perajin batik batang.
"Sekarang kita ada 30 orang, sudah regenerasi. Aktivitasnya membatik bareng, pameran bareng kalau ada yang ngundang, simpan pinjam, memberi nama motif dan lainnya," jelas Tin.
Sejalan dengan usahanya, tahun ini pun Pemerintah Kabupaten Batang mulai mencanangkan membatik sebagai ekatra kurikuler SD.
Beberapa istansi juga setiap tanggal 8, diwajibkan menggunakan kebaya, yang bisa dipasangkan dengan batik.
Ia berharap ke depan akan ada bantuan yang bisa melatih perajin-perajin batik agar lebih inovatif membuat produk.
"Kita lagi nunggu Bekraf katanya mau adakan pelatihan membuat produk dari batik, supaya terjualnya tidak lama," ujar Tin.
Produk-produk inovatif dari batik dinilai akan bisa mengangkat pasar-pasar batik batang yang sudah jenuh, seperti Jakarta. Sehingga bisa terjual lebih cepat dan banyak peminatnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.