Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Petani yang Baru Minum Cokelat Setelah Lebih dari 30 Tahun Merawat Kebun Cokelat

Kompas.com - 13/05/2018, 17:30 WIB
Kontributor Banyuwangi, Ira Rachmawati,
Wahyu Adityo Prodjo

Tim Redaksi


BANYUWANGI, KOMPAS.com - Mulyadi (60), pekerja di pabrik pengolahan kakao PTPN XII Pagergunung Kebun Kendenglembu Desa Karangharjo Kecamatan Glenmore terlihat membetulkan terpal warna biru yang menutup hamparan biji cokelat yang dijemur di halaman pabrik kakao.

Ia kemudian menunjukkan biji kakao jenis edel yang sedang dijemur kepada Kompas.com Sabtu (12/5/2018).

"Ini jenis yang terbaik yang ada disini. Jenis Edel. Warna dalamnya putih dan harganya sangat mahal. Satu biji kakao kering jenis edel ini bisa dihargai 100 rupiah. Selain rasanya yang berbeda, cokelat yang dibuat dari kakao jenis ini tidak mudah meleleh," jelas laki-laki yang sudah bekerja selama 35 tahun di pabrik kakao itu.

Dia kemudian beralih menujukkan biji kakao lain yaitu jenis bulk. Ukuran lebih kecil dibandingkan jenis edel. Selain itu bagian dalam biji kakao jenis bulk berwarna keunguan.

"Jumlah pohon kakao jenis edel lebih sedikit dibandingkan bulk dan pohon kakao jenis edel juga rentan dengan penyakit sehingga butuh perawatan ekstra. Bulan Mei ini sudah masuk puncak panen dan biasanya akan berlangsung selama enam bulan ke depan bahkan bisa lebih lama lagi," jelas Mulyadi.

Mulyadi, pekerja pabrik Coklat saat menjemur biji kakao Sabtu (12/5/2018)KOMPAS.COM/Ira Rachmawati Mulyadi, pekerja pabrik Coklat saat menjemur biji kakao Sabtu (12/5/2018)

Awalnya, menurut Mulyadi, buah kakao akan dipanen lalu dikupas oleh buruh perkebunan kemudian dibawa ke pabrik dalam bentuk biji.

Kemudian biji-biji tersebut didiamkan atau difermentasikan selama beberapa hari sebelum dijemur dengan panas matahari selama 12 jam hingga kering.

Namun, jika kondisi cuaca hujan, maka biji-biji kakao tersebut akan dikeringkan dengan cara digoreng selama 12 jam secara manual. Lalu kemudian disortir untuk didapatlan biji kakao terbaik sebelum dikirim ke luar negeri.

"Jadi kita kirim bahan baku bukan diproses disini. Saya yang kerja 30 tahun lebih, baru sekarang saat ada festival cokelat, minum cokelat dari pohon yang saya rawat setiap hari. Rasanya menyenangkan dan bangga sekali," kata Mulyadi sambil tersenyum.

Dia juga mengatakan jika masyarakat ingin mendapatkan bubuk minuman cokelat hasil dari Glenmore bisa membelinya di kafe yang telah dibuka di tengah perkebunan.

"Kalau dulu nggak ada. Nggak dijual bebas," kata Mulyadi.

Para siswa menikmati minuman coklat di festival coklat Sabtu (12/5/2018)KOMPAS.COM/Ira Rachmawati Para siswa menikmati minuman coklat di festival coklat Sabtu (12/5/2018)

Pabrik pengelohan kakao PTPN XII masuk wilayah perkebunan Kendenglembu. Sejak tahun 2016, daerah tersebut menjadi salah satu destinasi wisata baru yaitu Doesoen Kakao dengan memanfaatkan lahan seluas 24 hektar termasuk kebun cokelat baru yang bisa dikunjungi oleh masyarakat umum.

Di wilayah tersebut juga disediakan kafe untuk para pengunjung menikmati berbagai jenis makanan yang berbahan dasar cokelat.

"Di sini pengujung juga bisa mendapatkan edukasi tentang kakao mulai dari pembibitan, pengolahan biji hingga menjadi bubuk. Jadi bisa mendaftar dulu pada jam kerja nanti akan dipandu untuk wisata edukasi keliling kebun," jelas Titon Tantular, manajer kebun Kendeng Lembu kepada Kompas.com, Sabtu (12/5/2018).

Kebun Kendenglembu sendiri memiliki luas sekitar 1.200 hektar sedangkan untuk wilayah Kecamatan Glenmore ada 4 ribu hektar lahan yang ditanami pohon kakao yaitu di perkebunan Kalitlepak, Kalikempit dan Terbasalak.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com