KULON PROGO, KOMPAS.com - Puluhan perempuan penari dengan dandanan unik menarik orang untuk datang dan menonton di alun-alun Kota Wates, Kulon Progo, DI Yogyakarta.
Mereka mengenakan kostum seperti serdadu zaman kolonial. Hanya saja, pakaian mereka itu berkerah shanghai, lengan panjang, dan celana pendek, yang semuanya serba berwarna hitam.
Terdapat hias bordir emas dengan semacam payet-payet di baju membentuk beragam pola pada baju hingga lengan, begitu pula rumbai-rumbai di tiap bahu hingga dada.
Tiap penari dilengkapi dengan sampur atau selendang yang menjuntai ke kiri dan ke kanan, topi pet warna hitam dengan ekor kuda di samping kiri kanan. Masing-masing penari memakai kaus kaki warna merah atau kuning.
Mereka semakin menarik saja lantaran tiap penari berdandan sangat cantik, wajah dipulas dengan kosmetik, dan memakai pewangi.
"Dandannya saja bisa 30 menit, tapi kalau komplet (hingga seluruh kostum) semuanya bisa sampai 1 jam. Biar tampak semakin menarik," kata Alfisya, 15 tahun, seorang pelajar sekolah menengah pertama di Kecamatan Temon, Sabtu (12/5/2018).
Seribuan orang sudah menunggu sejak selepas petang, demi menonton Angguk ini. Pertunjukan sendiri berlangsung mulai pukul 19.00.
Puluhan penari Angguk rupanya tidak mengecewakan. Goyang pinggul, ''kirid" atau goyang bahu yang membuat rumbai-rumbai dibahu dan fomasi menari mereka memukau penonton.
Salah satunya itu Alfisya, siswi kelas 3 ini, yang berada di antara para penari Angguk. Keluwesan menari Alfisya sampai mencuri perhatian beberapa penonton.
"Semuanya bagus. Tapi auranya yang itu (Alfisya) sangat bagus karena dia menarinya paling semangat," kata Tedi Mulyo, salah seorang penonton.
Angguk khas Kulon Progo. Kesenian ini berkembang sejak zaman kolonial, namun dulunya lebih banyak ditarikan para pria. Pertengahan tahun 1991, perempuan penari Angguk muncul. Kesenian ini mendapat banyak dukungan dan makin digemari warga.
"Pentas di desa-desa itu ada saja yang suka. Cantik relatif. Mereka suka karena endangnya (aura menarinya) itu, kharisma penari," kata Sri Mulyanti, pengasuh Sri Panglaras, mengenang tentang betapa melekatnya Angguk di hati warga ketika itu.
Dalam perjalanan waktu, penari-penari Angguk tetap menuai pujian warga Kulon Progo. Alfisya mengatakan, ia memantau banyak dukungan pecinta kesenian ini melalui media sosial miliknya. Tidak sedikit followers-nya menulis pesan dan komentar.