WONOGIRI, KOMPAS.com - "Ayo lari. Terus lari ya," kata Dian, instruktur paralayang untuk terbang tandem di Puncak Joglo, Wonogiri, Jawa Tengah.
Udara terasa panas. Matahari bersinar dengan terik. Namun, jarang sekali angin bertiup kencang.
Ia memacu saya untuk berlari lebih kencang. Parasut paralayang kami sudah mengembang sempurna.
Sementara, ujung landasan kami sudah semakin terlihat. Sebentar lagi kami akan mengudara di atas Waduk Gajah Mungkur.
Yap, akhirnya kami tinggal landas meninggalkan landasan terbang paralayang Puncak Joglo. Pemandangan Waduk Gajah Mungkur terpampang di bawah kaki saya.
Pada kesempatan ini akhirnya saya bisa merasakan terbang paralayang meskipun tandem bersama instruktur. Sebenarnya, terbang paralayang adalah salah satu cita-cita dalam petualangan hidup saya yang belum tercapai.
Petualangan di gunung, laut, bawah tanah, sungai sudah saya cicipi. Nah, petualangan udara inilah yang sangat saya nanti-nanti.
Rasa terbang di udara bagaikan burung ini seperti sulit digambarkan. Bayangkan saja, mata bisa melihat alam di sekitar tanpa ada batas.
Kemudian, bisa bersantai sejenak di udara. Wajah terbelai oleh udara. Lalu, hiruk pikuk suara kota pun hilang sementara waktu.
Oh ya, bagi yang belum pernah mencoba wisata petualangan seperti paralayang dan lainnya, sudah tentu jantung bakal berdegup. Namun, saya mencoba tenang, rileks, dan percaya dengan alat yang saya gunakan serta instruktur saya.
Takut itu wajar, tetapi jangan sampai menghalangi untuk mencoba hal baru. Persiapkan segala sesuatu mulai dari riset hingga kroscek informasi sebelum bertualang.
Percayakan petualangan dengan alat-alat yang bersertifikasi dan telah diuji secara internasional. Pemandu yang bersertifikat juga akan mengamankan setiap langkah petualangan baik di udara, laut, sungai, gunung, maupun bawah tanah.
Saya terbang sekitar 10 menit. Angin terpantau kurang bagus. Saya terbang setelah menunggu hingga 1,5 jam untuk menunggu angin agak bertiup.