Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ngabubrit Sambil Belajar Sejarah Lawang Sewu

Kompas.com - 13/06/2018, 15:03 WIB
I Made Asdhiana

Editor

SEMARANG, KOMPAS.com - Pemandu wisata Abdul Hadi (50) dengan penuh semangat dan sangat detil bercerita tentang kehebatan kolonial Belanda dalam membangun gedung Lawang Sewu di Kota Semarang.

"Coba lihat, tidak ada satu pun dinding yang retak, padahal gedung ini sudah berusia ratusan tahun," kata Abdul mengawali tugasnya ketika diminta sebagai pemandu oleh sekitar 10 pengunjung yang berasal dari luar Jawa Tengah.

Dengan membayar sebesar Rp 70.000 sebagai jasa untuk satu kali pemanduan yang berlangsung sekitar satu jam, pengunjung pun yang sebagian besar pelajar dan mahasiswa itu dengan penuh perhatian mengikuti penjelasan Abdul.

Baca juga: 6 Tempat Berfoto ala Belanda di Lawang Sewu

Ia tampak sudah hafal di luar kepala soal gedung bersejarah itu.

Untuk lebih meyakinkan pengunjung yang dipandunya, Abdul terlebih dahulu memperlihatkan kartu anggota Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Cabang Semarang.

Wisatawan sedang berfoto berlatarkan keindahan bangunan arsitektur Eropa, di Lawang Sewu, Semarang, Rabu (28/3/2018). KOMPAS.COM / MUHAMMAD IRZAL ADIAKURNIA Wisatawan sedang berfoto berlatarkan keindahan bangunan arsitektur Eropa, di Lawang Sewu, Semarang, Rabu (28/3/2018).
Kartu dan lisensi sebagai pemandu diperolehnya setelah mengikuti pelatihan yang diadakan Dinas Pariwisata Jawa Tengah.

"Pemandu wisata di kawasan Lawang Sewu ini harus mempunyai lisensi agar pengunjung benar-benar mendapatkan informasi yang benar dan akurat. Tidak sedikut pemandu abal-abal yang asal memandu supaya dapat uang," kata Abdul yang sudah lebih dari 20 tahun menekuni profesinya.

Baca juga: Kisah Lawang Sewu, Berjuang Demi Hilangkan Nuansa Mistis

Abdul adalah salah satu dari sebanyak 31 pemandu wisata yang beroperasi di Lawang Sewu, gedung bersejarah di pusat Kota Semarang yang merupakan peninggalan penjajah Belanda.

Pada awalnya, gedung itu digunakan sebagai kantor pusat perusahaan kereta api yang disebut Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij atau disingkat NIS.

Baca juga: Berapakah Jumlah Sebenarnya Pintu di Lawang Sewu?

Sore itu, Selasa (12/6/2018) yang bertepatan dengan hari pertemuan bersejarah Presiden AS Donald Trump dan pemimpin Korea Selatan Kim Jong Un di Singapura, sekitar 100 pengunjung tampak mengagumi keindahan arsitektur Lawang Sewu.

Fasilitas wisata sejarah perkereta apian di Lawang Sewu, Semarang, Rabu (28/3/2018). KOMPAS.com/MUHAMMAD IRZAL ADIAKURNIA Fasilitas wisata sejarah perkereta apian di Lawang Sewu, Semarang, Rabu (28/3/2018).
Sebagian besar pengunjung adalah anak-anak muda yang datang berpasangan atau rombongan keluarga. Oleh karena kebetulan bulan Ramadhan, para pengunjung memanfaatkan kegiatan tersebut untuk ngabuburit sekalian belajar sejarah.

Akan tetapi, sebagian besar pengunjung, terutama pasangan muda, menurut Abdul, tidak banyak yang tertarik untuk menggunakan jasa pemandu.

"Mereka datang hanya untuk 'berselfie' ria dengan latar belakang bangunan yang indah. Tidak banyak pengunjung, terutama anak muda yang tertarik untuk mengetahui secara detail sejarah gedung ini. Padahal pengetahuan sejarah itu penting," kata Abdul.

Gaya arsitektur Lawang Sewu yang merupakan perpaduan arsitektur tropis dan Eropa itu memang memiliki pesona yang berbeda sehingga menjadi sangat "instagramable" dan digemari anak muda sebagai latar belakang foto.

Lawang Sewu yang berarti gedung dengan seribu pintu, adalah gedung yang berlokasi di bundaran Tugu Muda, Kota Semarang, mulai dibangun pada 1904 dan selesai tiga tahun kemudian.

Wisatawan sedang memotret keindahan bangunan arsitektur Eropa, buatan Belanda di Lawang Sewu, Semarang, Rabu (28/3/2018). KOMPAS.COM / MUHAMMAD IRZAL ADIAKURNIA Wisatawan sedang memotret keindahan bangunan arsitektur Eropa, buatan Belanda di Lawang Sewu, Semarang, Rabu (28/3/2018).
Sebagaimana halnya nama Kepulauan Seribu di DKI Jakarta, jumlah pintu gedung tersebut sebenarnya tidak persis seribu buah, tetapi lebih tepatnya 429 pintu saja dengan sekitar 1.200 daun pintu.

Sampai 1994, Lawang Sewu masih digunakan oleh pemerintah sebagai Kantor Kereta Api Indonesia, tetapi pada 2009 dilakukan restorasi dan perbaikan tanpa mengubah bentuk aslinya.

Pada 2011, gedung tersebut pun dibuka untuk umum sebagai lokasi wisata sejarah dan menjadi salah satu tujuan wisata andalan di Kota Semarang dan Jawa Tengah.

Cerita Mistis

Sebagai sebuah bangunan kuno, Lawang Sewu juga menyimpan banyak cerita mistis yang membuat bulu kuduk merinding.

Wisatawan sedang berfoto berlatarkan keindahan bangunan arsitektur Eropa, di Lawang Sewu, Semarang, Rabu (28/3/2018). KOMPAS.com/MUHAMMAD IRZAL ADIAKURNIA Wisatawan sedang berfoto berlatarkan keindahan bangunan arsitektur Eropa, di Lawang Sewu, Semarang, Rabu (28/3/2018).
Gedung berlantai dua yang luas tersebut hanya berupa ruang kosong dan di lantai bawah tanah terdapat lorong bak penampungan air dan menurut cerita pernah digunakan sebagai tempat penyiksaan.

Menurut penuturan Abdul, gedung tersebut menjadi tempat bersemayam banyak makhluk gaib.

Tapi ketenangan para "penghuni" gedung menjadi terusik gara-gara sebuah acara stasiun televisi swasta dari Jakarta yang memanggil mereka dengan sesajen.

Acara televisi tersebut dikatakan ibarat membangunkan orang yang sedang tidur dalam kedamaian, sehingga kemudian berkeliaran dan menampakkan diri kepada pengunjung.

"Karena dibangunkan, makhluk halus tersebut kemudian meminta sesajen lagi dan kalau tidak mendapatkannya, mereka akan mengganggu pengunjung lain," kata Abdul dengan mimik wajah serius.

Wisatawan sedang berfoto berlatarkan mozaik kaca di bangunan arsitektur Eropa, di Lawang Sewu, Semarang, Rabu (28/3/2018). KOMPAS.COM / MUHAMMAD IRZAL ADIAKURNIA Wisatawan sedang berfoto berlatarkan mozaik kaca di bangunan arsitektur Eropa, di Lawang Sewu, Semarang, Rabu (28/3/2018).
Pada sebuah kesempatan saat memandu, seorang wisatawan kepada Abdul mengatakan bahwa ia melihat seorang noni Belanda dengan pakaian serba putih berdiri di pojok ruangan.

Ada juga pengunjung wanita yang diyakini "dimasuki" oleh roh gaib, tiba-tiba melakukan gerakan tari balet di salah satu lorong. Padahal dalam sehariannya wanita tersebut sama sekali tidak memiliki bakat menari, apalagi tari balet.

Beberapa cerita mengenai makhluk halus penghuni Lawang Sewu yang dikemas sedemikian rupa, membuat pengunjung seolah terbawa pada dunia gaib. Tidak sedikit yang mengaku merinding.

Salah seorang pengunjung wanita, Denty asal Jakarta, meminta tolong kepada rekannya agar ditemani ke toilet yang terletak di salah satu pojok bangunan dan saat itu sepi pengunjung.

Cerita mengenai "penghuni" Lawang Sewu dan segala keseruannya yang membuat bulu kuduk berdiri, hanyalah sisi lain dari sejarah gedung tersebut.

Keindahan bangunan arsitektur Eropa, buatan Belanda di Lawang Sewu, Semarang, Rabu (28/3/2018). KOMPAS.COM / MUHAMMAD IRZAL ADIAKURNIA Keindahan bangunan arsitektur Eropa, buatan Belanda di Lawang Sewu, Semarang, Rabu (28/3/2018).
Sebagai sebuah bangunan bersejarah, Lawang Sewu memang menyimpan banyak kisah menarik, terutama mengenai sejarah kolonialisme Belanda di Tanah Air.

Arsitek Prof Jacob F Klinkhamer (TH Delft) dan BJ Quendag, dua tokoh di balik pembangunan gedung Lawang Sewu, seperti mengajarkan kepada semua pihak bahwa proses pembangunan dengan menggunakan bahan bermutu serta perencanaan yang matang akan menghasilkan karya yang mampu bertahan ratusan tahun.

Tidak hanya soal mutu bangunan, tetapi juga estetika. Contoh kecilnya adalah soal pipa saluran air hujan yang rapi mengalir, tanpa menimbulkan genangan saat musim hujan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com