Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Taman Nasional Berbak Sembilang Diusulkan Jadi Cagar Biosfer Baru UNESCO

Kompas.com - 25/07/2018, 15:35 WIB
Aji YK Putra,
Sri Anindiati Nursastri

Tim Redaksi

PALEMBANG, KOMPAS.com - Taman Nasional Berbak Sembilang yang berada di perbatasan Sumatera Selatan dan Jambi diusulkan masuk dalam cagar biosfer baru ke United Nations Educational, Scientific dan Cultural Organizational (UNESCO).

Selain itu, dua wilayah lain di Indonesia yakni Danau Senatau di Riau dan Gunung Rinjani di Lombok Nusa Tenggara Barat (NTB) juga diusulkan masuk dalam cagar biosfer baru.

Direktur Jenderal (Dirjen) Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Wiratno, menjelaskan usulan masuknya tiga provinsi tersebut dalam cagar biosfer baru ke UNESCO telah dilakukan sejak September 2017.

Jika tiga tempat itu berhasil masuk cagar biosfer baru, elanjutnya akan dikembangkan tanpa merusak hutan di wilayah itu hingga dapat memberikan penghasilan bagi daerah di provinsi masing-masing.

TN Berbak Sembilang diketahui masih memiliki ekosistem hutan yang asri serta perkembangan habitat harimau sumatera, gajah, dan menjadi tempat burung bermigrasi dari Siberia.

“Nantinya setiap desa yang berdekatan dengan cagar budaya biosfer diberikan pendampingan, agar dapat mengembangkan desanya. Dalam tahap awal ini, kami akan bertemu dahulu dengan warga desa di sekitar cagar budaya biosfer untuk mengetahui potensi di daerah tersebut,” kata Wiratno ketika menghadiri acara rapat koordinasi Internasional Manusia dan Biosfer UNESCO di Palembang, Sumatera Selatan, Rabu (25/7/2018).

Dilanjutkan Wiratno, setelah diketahui potensi wilayah cagar biosfer tersebut, mereka akan melihat akses jalan serta alat transportasi menuju ke ke lokasi untuk memastikan keamanan serta kenyamanan ketempat itu.

“Namun jika akses jalan masih sulit, kita mengusulkan meminta bantuan dari pemerintah,” ujar Wiratno.

Wisata di Kalibaru, Banyuwangi, Jawa Timur yang mampu “unjuk gigi” menjadi hutan wisata wisata membuat contoh pengelolaan hutan dengan baik.

Sehingga ke depannya seluruh hutan di Indonesia dapat dimanfaatkan sebagai tempat wisata alam yang menarik para wisatawan lokal maupun mancanegara.

“Dalam satu tahun, desa wisata Kalibaru mampu mendapatkan penghasilan Rp 6 miliar. Tapi memang desa itu sudah lama digarap. Kita mengikuti Desa Kalibaru. Soal berapa biaya yang dikeluarkan, kami belum merinci, karena masih harus dihitung,“ ujarnya.

Di sisi lain, Wiratno mengakui butuh waktu cukup lama kepada masyarakat untuk menggarap potensi hutan tanpa merusak hingga dapat menjadi wisata alam yang dijual. Saat ini mereka masih terus melakukan sosialisasi dan pendekatan kepada masyarakat untuk memberikan solusi penggarapan hutan tanpa merusak.

“Waktu yang dibutuhkan agar masyarakat sadar tidak merusak hutan sekitar 3-5 tahun. Tapi bisa juga lebih cepat, jika sosialisasi gencar diterapkan. Jika nantinya ketiga tempat ini sukses dalam pengembangan desa sekitar, selanjutnya akan mengusulkan kembali tempat untuk dijadikan cagar biosfer,” jelasnya.

Wakil Kepala LIPI, Prof Bambang Subianto, menambahkan pengembangan di tiga desa yang diusulkan tersebut haruslah menjaga kelestarian dan keamanan lingkungan. Mengingat saat ini, isu soal kerusakan lingkungan selalu dimanfaatkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab untuk mendapatkan keuntungan pribadi.

“Kita berupaya mengimplementasikan setiap pengetahuan dalam program ini. Kami minta juga dukungan dari perguruan tinggi dan dukungan dari kementerian,” ungkap Bambang.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com