Tempat ini memiliki kesan romantis bukan hanya karena kisah tersebut. Letaknya tempat ini yang lebih tinggi dan punya beberapa spot foto berlatar pemandangan Biak.
Landasan terbang Lanud Manuhua dan langit biru yang membentang lapang menghidupkan kesan romantis pada tempat ini.
Hari masih panjang, matahari masih terik. Setelah puas berfoto, kami dibawa untuk mengunjungi destinasi wisata lain yakni Goa Jepang.
Seperti banyak “Goa Jepang” lain yang ada di Indonesia, khususnya di pulau Jawa yang pernah saya singgahi, tempat ini merupakan bekas tempat tentara Jepang berkumpul dan bersembunyi dari musuh semasa perang dunia kedua.
Menurut penuturan Pak Sampir, di Indonesia terdapat banyak “Goa Jepang” bukanlah suatu hal tanpa alasan.
Jepang memiliki kecenderungan untuk memilih goa sebagai tempat berkumpul sekaligus benteng karena tempatnya tersembunyi di tengah hutan dan sudah terbentuk secara alami. Hal ini sangat berguna ketika Jepang mendapat gempuran dari Sekutu.
Tanpa ragu, Pak Sampir bercerita bahwa hal tersebut merupakan bekas bom yang dilakukan oleh sekutu. Banyak tentara Jepang yang menjadi korban karena bom tersebut.
Puing-puing, tengkorak, serta bekas-bekas barang perang Jepang yang menjadi korban dari bom itu bisa dilihat di Goa Jepang. Para warga setempat, dibantu beberapa ahli konservasi, akhirnya melakukan pemugaran dan menjadikan tempat tersebut sebagai tempat wisata bersejarah.
Tulang belulang, pakaian dan senjata perang serta barang-barang bekas peninggalan para tentara Jepang dikumpulkan lalu diletakkan pada suatu ruangan untuk disimpan dan dipajang. Jalan menuju Goa pun dibuat dengan aspal berbentuk tangga.
Saat ini, pengelolaan Goa Jepang masih dilakukan oleh warga setempat dan belum diambil alih oleh instansi tertentu. Tawar menawar harga terjadi di sini.
Pada awalnya, saya melakukan riset dengan mencari di internet tentang testimoni beberapa orang yang memasuki tempat ini dikenai Rp 25.000 per orang.
Atas kemampuan bahasa dan lokal setempat milik Pak Sampir, kami mendapatkan tiket masuk seharga Rp 10.000. Tentu hal ini lagi-lagi menjadi sesuatu yang kami terima tanpa ragu-ragu lagi.
(Artikel dari anggota Tim Ekspedisi Bumi Cenderawasih Mapala UI, Alva Lashyadi. Artikel dikirimkan langsung untuk Kompas.com di sela-sela kegiatan Ekspedisi Bumi Cenderawasih di Papua Barat)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.