Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketika Lagu Padang Ulan Bergema di Langit Bandara Banyuwangi...

Kompas.com - 06/08/2018, 09:04 WIB
Kontributor Banyuwangi, Ira Rachmawati,
I Made Asdhiana

Tim Redaksi

BANYUWANGI, KOMPAS.com - "Hitungan ketiga kita mulai. Satu, dua, tiga!" Tanpa menunggu lama angklung dan kendang yang berada di paglak atau pondok bambu yang didirikan di atas ketinggian 6-7 meter dibunyikan secara serempak.

Mereka memainkan lagu Padang Ulang secara bersama-sama. Ada 38 paglak yang didirikan di halaman Bandara Banyuwangi, Sabtu (4/8/2018), di Festival Paglak yang digelar Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.

Baca juga: Menepati Janji Leluhur Banyuwangi di BEC 2018

Saat musik Padang Ulan dimainkan secara bersamaan, ratusan orang yang hadir langsung mengarahkan kamera handphone-nya ke atas untuk merekam atraksi tersebut.

"Bagus banget. Biasanya yang main cuma satu paglak. Ini banyak ada puluhan dan main musiknya bareng-bareng. Saya jadi merinding," kata Sumiyati (51), warga Kecamatan Rogojampi yang datang menyaksikan Festival yang baru pertama kali digelar tersebut.

Baca juga: Tarik Turis Malaysia, Citilink Matangkan Rute Kuala Lumpur-Banyuwangi

Angklung paglak adalah salah satu kesenian musik tertua yang dimiliki oleh Suku Using Banyuwangi yang lahir dari masyarakat agraris.

Angklung dimainkan di atas paglak yang didirikan di tepi sawah sebagai pertanda musim panen telah tiba.

Para pemain angklung paglak di Banyuwangi yang terdiri dari empat orang. Mereka memainkan musik angklung di atas ketinggian 7 meter, Sabtu (4/8/2018).KOMPAS.com/IRA RACHMAWATI Para pemain angklung paglak di Banyuwangi yang terdiri dari empat orang. Mereka memainkan musik angklung di atas ketinggian 7 meter, Sabtu (4/8/2018).
Selain berfungsi untuk mengundang tetangga ikut membantu panen, angklung paglak juga berfungsi untuk memberikan hiburan kepada masyarakat yang bekerja di sawah.

"Terkadang kalau capek menggarap sawah, petani naik ke atas untuk istirahat sambil memainkan musik. Sekaligus mengawasi sawahnya, kan paglak ini tinggi bisa sampai 7 meter dan didirikan menggunakan bambu," kata Sahuni, salah satu juri fetsival Angkung Paglak kepada Kompas.com, Sabtu (4/8/2018).

Baca juga: 5 Pilihan Hotel untuk Liburan di Banyuwangi

Dia menjelaskan tangga yang digunakan untuk naik ke paglak adalah tangga "lanang" atau pria, yang terbuat dari bambu yang diberi celah sisi kanan dan kirinya untuk pijakan kaki.

"Jadi hanya satu bambu untuk tangga. Sedangkan tangga wadon atau perempuan adalah tangga pada umumnya, yaitu dua bambu dan ada pijakan dan pegangan tangannya. Itu jarang digunakan untuk paglak," kata Sahuni.

Baca juga: Menpar: Saya Ingin Seni dan Budaya Banyuwangi Terus Eksis...

Selain itu, pada zaman dulu, bambu yang digunakan adalah bambu yang kecil sehingga jika dinaiki dan terkena angin akan bergoyang. Untuk pemain musik ada empat orang yang terdiri dari dua pemain angklung dan dua orang memainkan kendang.

"Untuk mendirikan paglak ini memang butuh kemampuan khusus bagaimana aman saat dinaiki tapi juga lentur jika kena angin. Katanya semakin keras goyangnya saat kena angin dan musik dimainkan, maka semakin bagus dan menarik. Tapi keamanan juga tetap nomor satu," katanya.

Festival Angklung Paglak ini juga menambah cantik kawasan bandara hijau Banyuwangi. Suasana khas lokal semakin terasa di bandara yang mengadopsi arsitekur berbasis budaya Suku Using tersebut.

Secara bersama sama, para pemain angklung memainkan lagu Padang Ulan di atas paglak, di Banyuwangi, Sabtu (4/8/2018).KOMPAS.com/IRA RACHMAWATI Secara bersama sama, para pemain angklung memainkan lagu Padang Ulan di atas paglak, di Banyuwangi, Sabtu (4/8/2018).
Sementara itu Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar anas menjelaskan Festival Angklung Paglak bukan hanya sekadar atraksi wisata namun juga ada pesan moral tentang gotong royong yang harus diteladani.

Anas menjelaskan, festival ini adalah salah satu strategi memajukan kebudayaan daerah. Di sejumlah negara, beragam atraksi seni-budaya telah menjadi indikator kebahagiaan warga dan kemajuan daerah.

”Jadi kemajuan daerah tidak semata-mata diukur dari ekonomi saja, tapi juga proses memajukan seni-budaya. Di Jepang dan Korea, budaya menjadi sumber kemajuan negara. Maka, selama enam tahun terakhir kita konsisten menggelar festival untuk memajukan budaya Banyuwangi,” tambah Anas.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com