Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menelusuri Jejak Manusia Purba di Bukit Wuntun Waru Flores

Kompas.com - 14/08/2018, 06:03 WIB
Markus Makur,
I Made Asdhiana

Tim Redaksi

BORONG,KOMPAS.com - Manusia purba ditemukan di bukit Wuntun Waru, Kampung Puncak Weong, Desa Rana Gapang, Kecamatan Elar, Kabupaten Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur.

Bukti sejarahnya ada kuburan massal dari manusia purba Flores yang hidup ribuan tahun silam.

Seorang misionaris asal Jerman bertugas di wilayah Paroki Yohanes Pemandi, Elar, Keuskupan Ruteng. Nama misionaris itu, Pastor Otto Vollerzt, SVD yang bertugas di Paroki itu sejak 1947.

Rabu (31/1/2018), saya mendengarkan informasi dari warga Elar tentang manusia purba di bukit Wuntun Waru. Orang lokalnya menyebut Ngiung.

Namun, Pater Otto Vollerzt, SVD meneliti berdasarkan ciri-ciri dan tinggi badannya hampir sama dengan manusia purba di Liang Bua, Kabupaten Manggarai. Tempat kuburan massal itu disebut Rapu Ngiung di bukit Wuntun Waru.

Berdasarkan informasi lepas dari warga setempat maka saya bersama Paskalis Peli Purnama, Benediktus Adeni, Levi Betaya memulai perjalanan menuju ke Kampung Puncak Weong menelusuri kisah langka yang diceritakan warga setempat.

Awalnya kendaraan yang kami tumpangi parkir di salah satu rumah warga di Kampung Ngancar. Jarak dari kampung Ngancar sampai di Kampung Puncak Weong kira-kira empat kilometer dan ditempuh dalam waktu dua jam. Jalannya mendaki menuju ke puncak Kampung Weong.

Sore itu, di bawah hujan gerimis, kami beranjak. Kami semua memakai sandal sesuai dengan medan berat. Kami memasuki jalan berbatu. Jalan berbatu itu tidak terlalu jauh. Selanjutnya, kami melintasi jalan tanah licin karena selama sebulan wilayah itu diguyur hujan lebat.

Akhirnya, kami semua memutuskan berjalan kaki tanpa sandal. Telapak kaki pun penuh dengan lumpur. Menurut penulis, seorang jurnalis harus mengalami seperti itu dalam menjalankan tugasnya dan siap menghadapi berbagai kondisi.

Semangat Jurnalistik

Di tengah perjalanan, sebagai manusia, saya kadang tidak sanggup berhadapan dengan kondisi medan yang berat. Bahkan, kadang-kadang putus asa dan ingin kembali ke Kota Elar. Tetapi, semangat jurnalistik dalam hati memberikan saya kekuatan untuk terus beranjak dan mendaki bukit.

Untuk menghibur diri dalam perjalanan, kami selalu menceritakan berbagai kisah kehidupan dan cerita lucu sambil membuka lagu dalam handphone. Lagu-lagu daerah dan lagu-lagu cinta diputar dalam handphone.

Saya selalu dihibur oleh cerita-cerita humor. Sesekali saya bertanya kepada Benediktus Adeni dan Paskalis Peli Purnama yang sudah beberapa kali ke kampung tersebut. Ditambah semangat anak muda, Lebi Betaya yang selalu mendampingi saya dalam perjalanan.

Kami dihibur dengan berbagai jenis tanaman holtikultura serta suara burung-burung yang menemani dalam perjalanan karena hutannya masih terjaga dengan baik. Akhirnya, kami tiba di Kampung Puncak Weong sekitar pukul 16.30 Wita.

Kami berjumpa dengan warga kampung yang sebagian masih ada hubungan saudara dengan beberapa teman seperjalanan. Wajah warga penuh bahagia ketika bersalaman dengan kami.

Selanjutnya kami dipersilakan masuk rumah. Tubuh sudah lelah. Semangat untuk berjumpa dengan sesama saudara dan saudari di kampung menambah energi yang tersisa.

Suguhan Minuman Kopi

Tidak ada pilihan dari warga dalam menjamu tamu yang datang, selain minum kopi. Minum kopi pahit. Minuman kopi pahit merupakan kebiasaan warga setempat. suguhan minuman kopi merupakan budaya setempat dalam menjamu tamu yang berkunjung.

Biasanya di seluruh kampung di wilayah Manggarai Timur, jika ada tamu datang dari jauh, satu per satu disapa dengan jabatan tangan. Malam itu kami dihibur dengan sapaan kekeluargaan dari warga setempat.

Selanjutnya kami saling berbagi cerita seputar politik pada pesta demokrasi 2018. Selain itu, warga mengisahkan infrastruktur jalan ke kampung itu yang tidak pernah di aspal sejak Indonesia merdeka.

Mencari Cerita Manusia Purba Flores
 
Warga Kampung Puncak Weong, Desa Rana Gapang, Kecamatan Elar, Valentinus Sardus dan Donatus Jalu kepada Kompas.com mengisahkan, berdasarkan cerita dari leluhur bahwa ribuan tahun silam, hidup manusia berbadan pendek, kira-kira tingginya 3 centimeter.

Hampir mirip dengan manusia purba Flores yang ditemukan di kawasan Liang Bua, Kecamatan Rahong Utara, Kabupaten Manggarai.

"Manusia purba Flores itu banyak. Mereka memiliki tempat tinggal di bukit Wuntun Waru. Zaman itu hidup juga manusia. Orang lokal menyebut manusia purba itu Ngiung. Suatu ketika terjadi perebutan batas kekuasaan tanah antara manusia dan manusia purba itu. Saat itu terjadi perang perebutan batas kekuasaan tanah. Perang sangat sengit. Saat itu tidak ada yang menang," kata Valentinus Sardus.

"Suatu hari mereka membuat agenda pertempuran dengan membakar diri. Keduanya saling membakar diri secara massal dalam sebuah lapangan besar yang sudah ditentukan di bukit Wuntun Waru. Akhirnya tubuh manusia purba atau Ngiung itu terkabar sementara manusia tidak terbakar. Pihak manusia yang menang. Sesudah itu pihak manusia menguburnya secara massal. Saat ini bukit itu disebut Rapu Ngiung Wuntun Waru," tambah Donatus Jalu.

Paskalis Peli Purnama kepada Kompas.com, Kamis (1/2/2018) menjelaskan, kira-kira dua tahun lalu orang Kanada datang ke Kecamatan Elar dan langsung ke bukit Wuntun Waru untuk menggali kuburan massal tersebut sekalian melakukan penelitian berdasarkan laporan dari Pater Otto Vollerzt, SVD asal Jerman.

Selanjutnya disusul peneliti dari UGM Yogyakarta untuk melakukan hal serupa. Namun, tua-tua adat setempat belum memberikan izin untuk menggali kuburan massal manusia purba tersebut.

"Kami heran ketika melihat orang asing yang datang di Kecamatan Elar juga disusul peneliti dari UGM Yogyakarta. Satu saja tujuan mereka untuk menggali kuburan massal dan menelitinya. Namun, tua-tua adat setempat belum mengizinkannya," katanya.

Wartawan Pertama

Warga Kampung Puncak Weong, Valentinus Sardus dan Donatus Jalu mengisahkan bahwa wartawan Kompas.com yang pertama menginjakkan kaki di Kampung Puncak Weong.

Kampung ini berada di puncak gunung. Saat matahari terbit terlihat sangat dekat. Bahkan, dari kampung itu bisa melihat wilayah Aimere, Kabupaten Ngada, Gunung Inerie, kawasan Pota dan Dampek di wilayah utara Manggarai Timur.

Pemandangan dari kampung itu sangat indah saat pagi hari dan saat matahari terbenam. Sayangnya, saat itu cuaca sedang mendung sehingga kami tidak sempat menikmati matahari terbit dan terbenam.

"Sejak Indonesia merdeka sampai Januari 2018, baru pertama kali kami melihat wartawan. Kami sangat bersyukur dan bangga dikunjungi wartawan. Semoga menyalurkan suara kami sampai di tingkat pemerintah pusat agar infrastruktur jalan ke Kampung Weong bisa diaspal," kata Paskalis.

"Kami berdoa semoga wartawan terus sehat dan uwa ghaeng wulang, agu langkas ngaeng ntala. Artinya wartawan bisa menembus bulan dan terang seperti bintang di langit,” sambungnya.

Valentinus Sardus dan Donatus Jalu pasrah dengan kondisi ini. Dia mengatakan "Lelon kaut le morin agu ngaran" yang artinya, "Biarkanlah Tuhan yang mengurusnya".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com