Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pengalaman Pertama Naik Pesawat Perintis di Papua Barat...

Kompas.com - 14/08/2018, 22:10 WIB
Wahyu Adityo Prodjo

Editor

 

KOMPAS.com - Saya harus berangkat untuk melakukan survei kondisi wilayah salah satu lokasi Ekspedisi Bumi Cenderawasih Mapala UI, yaitu Kabupaten Teluk Bintuni, sebelum tim besar datang. Pesawat kecil menjadi pilihan kendaraan yang dapat mempersingkat waktu untuk menuju lokasi tersebut yakni dengan pesawat Cessna 208 tepatnya.

Dengan ukuran yang minim membuatnya hanya dapat diisi oleh 12 penumpang saja. Setiap penumpang harus membayar harga sebesar Rp 300.000 untuk dapat naik pesawat ini.

 

 

Pagi itu, saya dan salah satu kawan dari Universitas Papua berada di Bandar Udara Rendani, Manokwari. Pesawat terlambat 20 menit dari jadwalnya.

Pilot pesawat perintis Manokwari - Teluk Bintuni, Papua Barat.Dok. MAPALA UI Pilot pesawat perintis Manokwari - Teluk Bintuni, Papua Barat.
Beberapa saat, akhirnya pesawat tersedia, saya langsung masuk menempati tempat duduk paling depan. Di sini tidak seperti pesawat komersil lain yang bisa pesan terlebih dahulu posisi kursi penumpangnya. Istilahnya, siapa cepat dia dapat.

Saya memilih untuk duduk persis di belakang kursi pilot. Saya tidak mau kehilangan kesempatan emas untuk bisa mengintip langsung bagaimana sebuah pesawat kecil dioperasikan.

Ketika kru masuk saya menyadari bahwa pilot pesawat perintis ini adalah seorang warga negara Indonesia sedangkan copilot dari warga asing. Entah mengapa alasannya, tetapi ternyata memang selalu begitu penempatan kru yang dilakukan di sini.

 

Kini, saatnya pasang sabuk pengaman. Pesawat pun siap terbang. Pesawat take off dan saya langsung disuguhkan dengan pemandangan berupa birunya laut timur Indonesia.

Pemandangan bentang alam Papua Barat dilihat dari pesawat perintis.Dok. MAPALA UI Pemandangan bentang alam Papua Barat dilihat dari pesawat perintis.
Terlihat juga indahnya bentang pulau Papua dari ketinggian. Bukit-bukit dan rumah warga dapat terlihat jelas oleh saya dari atas sini karena ketinggian penerbangan yang tidak terlalu tinggi.

Setelah 40 menit terbang, Bandara Merdey pun sudah terlihat. Ditandai dengan munculnya landasan pesawat yang dikelilingi oleh sungai besar. Pesawat pun siap pendarat.

 

 

Cloud! Cloud!!” Terdengar suara panik dari sang copilot saat ada awan menutupi jalur menuju landasan penerbangan.

 

Pesawat pun langsung menikuk tajam ke kiri dan kembali ke atas. Rasanya seperti menaiki salah satu wahana di Dunia Fantasi di Ancol.

Anak-anak sekolah dasar di landasan pacu Bandara Merdey, Teluk Bintuni, Papua Barat.Dok. MAPALA UI Anak-anak sekolah dasar di landasan pacu Bandara Merdey, Teluk Bintuni, Papua Barat.
Miring, mual, dan panik. Tiga kata yang dapat menggambarkan perasaan saya saat itu. Sempat beberapa menit sang perintis hanya berputar-putar di atas awan. Pilot dan pasangannya sibuk mencari celah kosong di bawah.

“Pesawat ini tidak dapat menembus awan. Bahkan jika wilayah bandara tertutup awan semua, kita bisa saja balik lagi ke Manokwari,” ujar seorang ibu yang duduk di sebelah saya.

Saat menemukan kesempatan, pesawat langsung kembali menukik untuk mendarat. Terlihat dari jauh bagaimana kondisi lahan bandara.

Landasan di Bandara Merdey berupa dataran berpasir dan berbatu yang belum diaspal. Proses pendaratan terasa sangat kasar tetapi tetap aman karena kemahiran sang pilot.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com