FAKFAK, KOMPAS.com - Ada yang unik jika berkunjung di Pulau Arguni Distrik Kokas Fakfak Papua Barat yaitu warna atap rumah warga berbeda. Masyarakat yang tinggal di Kampung Tavar menggunakan atap rumah berwarna hijau sedangkan Kampung Arguni menggunakan atap rumah berwarna biru.
Bukan hanya itu, pagar depan rumah kedua kampung juga berbeda. Untuk kampung Taver, pagar tembok sedangkan pagar rumah kampung Arguni disambung besi. Padahal kedua kampung tersebut berada di satu pulau kecil.
Kedua kampung tersebut hanya dipisahkan tugu selamat datang semacam gapura. Jumlah penduduk pulau itu juga tidak begitu banyak, yaitu kurang dari 150 kepala keluarga.
"Jadi walaupun beda kampung tapi jaraknya hanya selangkah. Dulu sama-sama satu kampung. Ini dipisah hanya secara administratif agar kedua kampung sama-sama mendapat kucuran uang bantuan dari pemerintah secara adil," kata Husein Saiyof (64) kepada Kompas.com, Sabtu (25/8/2018).
"Sebelah sana rumah raja dan dekatnya adalah rumah kapitan. Beliau yang memimpin petuanan adat Arguni," jelas haji Husein.
Dari cerita tutur masyarakat sekitar, sebelumnya nenek moyang mereka tinggal di kampung lama yang berada dibalik bukit yang bernama kampung Ris Atot. Di kampung lama mereka mendirikan rumah panggung di karang-karang terjal yang berbahaya.
"Setelah berlayar mengelilingi pulau, mereka baru manyadari di sisi sini ada pasir putih yang landai dan akhirnyan enek moyang kami pindah lalu mendirikan kampung baru yang diberi nama taver," jelas Haji Husein.
Nama tersebut berasal dari kata Tav yang berarti air pasang dan aver yang bermakna sisa arus. Hingga saat ini kampung tersebut dikenal dengan nama Kampung Taver yang diyakini muncul dari sisa arus saat air laut pasang di Pulau Arguni.
Bukan hanya atap dan tembok yang membuat Pulau Arguni jadi unik. Di pulau karang tersebut tersebut juga dipenuhi dengan kambing peliharaan masyarakat sekitar.
Kambing-kambing tersebut dibiarkan berkeliaran di jalan-jalan yang ada di Pulau Arguni. Bahkan, kambing -kambing tersebut cukup mahir mendaki beberapa tebing karang yang terjal.
Untuk membedakan kambingnya, para pemilik membuat tanda identitas kalung warna warni dari tutup botol bekas.
"Masyarakat sini memang banyak yang melihara kambing. Dulu dipelihara di pulau kosong depan sana tapi sekarang sebagian besar di Arguni semua. Kalau di jual harganya cukup bagus. Satu kambing jantan dewasa bisa 5 sampai 6 juta. Ada yang menyebut kambing gunung karena suka mendaki. Padahal ya kambing biasa," jelas Jumilah Serbunit (44), salah satu warga di pulau Arguni.
Bahkan dengan banyaknya kambing di pulau Arguni, para perempuan di pulau Arguni berhenti menanam kacang.
"Kambingnya masuk sampai ke ladang. Jadi tanamannya rusak. Jadi yaa perempuan sini kerja lain. Tidak lagi tanam kacang dan buat selai kacang," kata Jumilah sambil tertawa.