Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menengok Situs Tapurarang, Lukisan Tangan Merah Darah

Kompas.com - 03/09/2018, 18:15 WIB
Kontributor Banyuwangi, Ira Rachmawati,
Wahyu Adityo Prodjo

Tim Redaksi


FAKFAK, KOMPAS.com - Situs Tapurarang di Distrik Kokas Fakfak Papua Barat menyimpan lukisan cap tangan manusia berwarna merah darah. Cap tangan itu tersebar di dinding-dinding tebing di tepi laut selat yang menghubungkan Distrik Kokas dan Pulau Arguni. Untuk menuju Situs Tapurarang hanya bisa diakses menggunakan perahu milik nelayan setempat.

Kompas.com berkesempatan melihat situs tersebut Sabtu (25/8/2018) dengan menumpang perahu milik Sahroni, nelayan setempat yang tinggal di Pulau Arguni. Nama Tapurarang diambil dari bahasa masyarakat setempat yang berarti lukisan cap tangan darah.

"Kalau masyarakat di sini menyebutnya Selat Perahu karena banyak perahu nelayan yang melintas. Jadi lukisan cap tangan itu bukan hanya di satu titik tapi menyebar di beberapa titik. Adanya di dinding tebing yang curam, "kata lelaki yang akrab dipanggil Oni.

Di sana tak hanya gambar telapak tangan, melainkan juga gambar hewan seperti ikan, buaya, dan kelabang.

Lukisan Situs Tapurarang yang ada di tebing karang yang diduga berasal dari zaman pra sejarah.KOMPAS.COM/Ira Rachmawati Lukisan Situs Tapurarang yang ada di tebing karang yang diduga berasal dari zaman pra sejarah.
Oni mengatakan jika wilayah selat tersebut mirip dengan Raja Ampat Sorong. Banyak gugusan pulau karang di selat tersebut. Di gugusan-gugusan tersebut itulah tersebar lukisan cap tangan merah.

Saat Kompas.com berkunjung, kondisi air sedang pasang sehingga kami bisa melihat langsung lukisan berwarna merah darah tersebut dari dekat.

Jika dilihat seksama, warna merah lukisan tersebut sama sekali tidak terlihat memudar. Padahal, diduga lukisan kuno tersebut sudah ada sejak ribuan tahun silam.

"Jika pas surut kita hanya bisa melihatnya dari jauh kalau memaksa mendekat long boat kita akan terdampar," jelas Oni.

Menurutnya, beberapa kali rombongan wisatawan asing terlihat datang untuk melihat lukisan tangan tersebut. Mereka berangkat dari dermaga Distrik Kokas.

Lelaki yang sudah tinggal selama 30 tahun di Pulau Arguni tersebut mengaku tidak mengetahui cerita tentang asal muasal Tapurarang. Roni mengatakan lukisan tersebut sudah ada sejak bumi diciptakan, mengutip dari cerita orang tua.

"Kita tidak pernah bertanya detail kepada orang tua-tua dulu. Katanya lukisan ini sudah ada bersamaan dengan dibuatnya bumi," kata Oni.

Selain lukisan cap tangan di Situs Tapurarang berwarna merah, terdapat juga lukisan yang mirip hewan.KOMPAS.COM/Ira Rachmawati Selain lukisan cap tangan di Situs Tapurarang berwarna merah, terdapat juga lukisan yang mirip hewan.

Namun, masyarakat sekitar mempercayai jika lukisan tersebut adalah berasal dari kutukan  seorang nenek yang menjadi setan kaborbor, penguasa laut yang paling menakutkan. Konon, saat itu nenek tersebut mengalami musibah dan perahu yang digunakan tenggelam.

Namun, tidak ada satu orang pun yang menolong nenek. Mereka lebih memilih menyelamatkan diri ke tebing-tebing yang curam dan membiarkan nenek tersebut tewas mengenaskan.

Arwah nenek yang marah tersebut kemudian mengutuk orang-orang yang menyelamatkan diri menjadi lukisan di tebing termasuk juga hasil tangkapan serta hewan peliharaan mereka.

"Namun untuk kebenarannya kita tidak tahu. Itu hanya cerita masyarakat sini, Kami benar benar mensakralkan wilayah tersebut. Tidak pernah kita otak atik apalagi merusak. Tidak, Tidak boleh itu," kataya.

Namun terkait tulang belulang dan tengkorak yang tersebar di tebing karang yang curam ada cerita tersendiri.

 

Pengunjung mengambil gambar kerangka manusia yang diletakkan di tebing karang di Distrik Kokas Fakfak Papua BaratKOMPAS.COM/Ira Rachmawati Pengunjung mengambil gambar kerangka manusia yang diletakkan di tebing karang di Distrik Kokas Fakfak Papua Barat
Haji Husein Saiyof, tetua di Pulau Arguni kepada Kompas.com menceritakan jika ratusan tahun yang lalu, tebing tersebut adalah wilayah tanjung pasir putih yang banyak dihuni oleh masyarakat dan rumah rumah di dirikan di tepi pantai hingga ke teluk.

Namun saat itu terjadi hongi-hongi atau perang suku. Saat lelaki dewasa kampung sedang keluar, datanglah pasukan yang menyerbu dari kampung sebelah. Akhirnya semua penghuni kampung yang terdiri dari perempuan dan anak-anak tersebut tewas dibantai. 

"Saat itu ada yang menyelamatkan diri dan memberitahu para suami yang sedang di luar kampung. Tapi sayangnya semuanya terlambat. Istri dan anak-anak mereka sudah tewas dan mayatnya diletakkan di bagian tebing-tebing sebagai pengingat peperangan tersebut. Dan itu yang kita saksikan hingga hari ini," kata haji Husein.

Tengkorak manusia yang ada di tebing curam di Distrik Kokas Fakfak Papua baratKOMPAS.COM/Ira Rachmawati Tengkorak manusia yang ada di tebing curam di Distrik Kokas Fakfak Papua barat

Saat Belanda datang, mereka sempat menyarankan agar tengkorak dan tulang belulang yang ada di tebing dikuburkan secara layak. Namun, masyarakat sekitar menolak karena menuruti pesan dari pendahulu mereka yaitu melarang menyentuh dan mengubah struktur tulang-tulang tersebut.

"Ini kita punya aset dan cerita. Agar anak cucu kita tahu kejadian tersebut. Agar bisa mengambil hikmah dari masa lalu," kata haji Husein.

Tertarik melihat langsung Situs Tapurarang? Dari Kota Fakfak harus menempuh perjalanan darat menembus hutan dan bisa menyewa mobil atau angkot menuju Distrik Kokas.

Kemudian dari dermaga bisa menumpang perahu nelayan sekitar untuk diantar langsung ke situs Tapurarang. Perjalanan panjang yang mengantarkan kita ke misteri peradaban masa lalu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com