LHOKSEUMAWE, KOMPAS.com - Sejumlah peserta menunggu giliran di panggung Lhokseumawe Traditional Festival Culture, Selasa (16/10/2018). Mereka peserta peurateb aneuk, sebutan lain, peuayon aneuk (menidurkan anak). Acara itu digelar di Lapangan Kandang, Kecamatan Muara Dua, Kota Lhokseumawe.
"Allah hai dododaidang
Seulayang blang ka putoeh taloe
Beurijang raye’k muda seudang
Tajak bantu prang ta bela Nanggroe
Allah hai dododaidang
Layang-layang putus tali
Cepat besar anak muda
Membantu perang bela negara
Syair itu mengalun pelan dari murid seorang ibu. Di depannya terdapat ayunan, lengkap dengan boneka yang dibuat seakan-akan seorang bayi. Dibalut persis mirip bayi. Delapan peserta tampil bergantian.
Sebagian menggunakan ayunan dengan metode sang ibu duduk, sebagian lagi memilih berdiri sambil mengayun anak, sebagian lainnya memeluk sang bayi sambil bersenandung.
“Sudah terbiasa dengan anak sendiri. Jadi tak terlalu ribetlah,” kata seorang peserta, Nur Bayani dari Desa Kuala, Kecamatan Blang Mangat, Kota Lhokseumawe.
Syair yang dinyanyikan umumnya berisi pesan moral, etika, dan perjuangan membela negara. Bagi masyarakat Aceh tempo dulu, peurateb aneuk sejenis doktrin sejak dini untuk membela agama, negara dan sesama. Itu pula turun temurun diajarkan pada generasi berikutnya.
Hal itu dibenarkan salah seorang dewan juri, Ulya Maksum. Dalam even yang dibuka sejak empat hari lalu wajib mengirimkan perwakilan.