Keluar dari kawasan hotel, kami melintasi Jalan Raya Kalkbrænderihavnsgade/O2. Kendaraan roda empat masih sepi, tetapi para pesepeda sudah banyak yang berseliweran.
Kayuhan mereka kencang-kencang. Sementara saya, duh… pelan benar. Saya baru sekali kayuh, mereka sudah dua atau tiga kali kayuh. Walhasil, saya dilewati terus oleh mereka.
Baca juga: Kuliner dan Budaya Indonesia Dipromosikan di Denmark
Belum lagi rasa nyut… nyut… yang terasa di kaki saya yang mengayuh sepeda. Makin pelan saja laju sepeda saya karena kaki kadang memilih diam, tak bergerak karena pegal. Harap maklum, saya jarang olahraga.
Oh iya, sekadar mengingatkan, berbeda dengan Indonesia yang menggunakan jalur kiri, di Denmark semua pengendara harus di jalur kanan.
Begitu juga dengan jalur sepeda. Jalur sepeda ada di posisi paling kanan. Terlihat jelas tandanya, bahkan ada lampu lalu lintas khusus sepeda di setiap persimpangan.
Nah, jika kayuhan kita pelan, sebaiknya melajulah di sebelah paling kanan. Kalau kecepatan pelan posisi sepeda di sebelah kiri, dijamin akan terdengar bunyi kring… kring… kring… sebagai kode diminta minggir ke kanan. Ini pengalaman pribadi saya gowes di Copenhagen yang memiliki track sepeda sepanjang 375 kilometer.
Sepanjang jalan, berkali-kali kami menengok Google Maps di ponsel. Tentu saja sambil berhenti dan turun dari sepeda.
Agak membingungkan ketika berada di persimpangan jalan atau perempatan, sementara kita harus belok ke kiri atau ke kanan. Syukurnya, banyak yang bersepeda sehingga bisa juga menjadikan mereka sebagai pemandu belok.
Baca juga: Saat Walikota Seoul Bersepeda dengan Turis Indonesia
Berdasarkan penelusuran di google, saat ini, terdapat lebih dari 1.800 sepeda yang “berkeliaran” di jalan-jalan Ibu Kota Denmark ini. Tak hanya sepeda yang dikayuh, juga sepeda listrik yang membikin kaki tidak terlalu pegal. Jadi, jangan khawatir salah jalan.
Selain itu, yang memudahkan, jalur khusus sepeda sangat jelas. Ada di sebelah paling kanan jalur, dan terdapat gambar sepeda di jalurnya. Saat di persimpangan, jalur sepeda akan diberi warna biru, terkadang juga ada lampu lalu lintas khusus pengendara sepeda.
Nah, untungnya bersepeda, masih bisa menggunakan trotoar untuk melintas. Pada saat bingung mencari jalan, saya dan Dilo lebih memilih turun dari sepeda dan menuntunnya.
Dengan begitu, kami bisa memangkas jarak daripada harus berputar di persimpangan depan, yang jaraknya lebih jauh dibandingkan jika kami menuntun sepeda ke persimpangan yang sebelumnya.
Saya dan Dilo sempat berhenti beberapa kali di tempat yang menurut kami menarik untuk menjadi background foto. Cekrik... pose yang keren biar tidak boleh ketinggalan saat jelajah kota macam ini.