KULON PROGO, KOMPAS.com - Menari kuda lumping sambil berendam di air sungai bukan tontonan biasa. Kunchung Budiawan, 45 tahun, menunjukkan keluwesannya menarikan kuda lumping yang sedang mandi itu di sebuah tempuran (pertemuan dua) sungai, yakni Sungai Ngiwa dan Sungai Gunturan, di Bendungan Kayangan di Desa Pendoworejo, Kecamatan Girimulyo, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Penari kuda lumping menari hingga berendam sambil menggiring rombongan bregadha dari Lembaga Kebudayaan Jawa Sekar Pangawikan melantunkan kidung dan mantra di dekat bendungan Sungai Kayangan ini.
Baca juga: Mampir ke Kulon Progo, Wajib Borong Batik Khasnya.
Guyang Jaran, tapi warga menyebutnya Ngguyang Jaran, menjadi sebuah tradisi turun temurun bagi warga Desa Pendoworejo. Ini menjadi simbol semangat warga bersih diri setelah bulan Safar.
Beberapa grup jathilan desa juga ikut memandikan kuda lumping, barong, hingga topeng-topeng mereka di sungai ini. “Grup-grup jathilan di desa ini melakukan hal seperti ini setiap tahun di bendungan ini,” kata Kunchung, Rabu (7/11/2018).
Baca juga: Geblek, Cireng Khas Kulon Progo
Ngguyang jaran merupakan puncak dari sebuah tradisi syukuran warga desa yang dinamai Festival Kembul Sewu Dhulur 2018. Festival itu berlangsung di hari Rabu terakhir pada bulan Safar atau Saparan Rebo Pungkasan.
Syukuran pun dikemas dalam acara Kembul Sewu Dulur, di mana masing-masing keluarga membawa makanan bikinan sendiri dengan menu kenduri, seperti tempe dan tahu bacem, telur, hingga ingkung. Mereka kemudian menyantap makanan bersama dan saling berbagi satu dengan lain.
Dalam bahasa Jawa, kata ‘kembul’ berarti bersama, ‘sewu’ berarti seribu, sedangkan ‘dulur’ adalah saudara. Kembul Sewu Dulur pun bermakna kebersamaan di antara warga yang sudah seperti saudara sendiri. Festival pun berakhir dengan Guyang Jaran.
Kidung dan doa turut mengiring rangkaian syukuran ini. Sastra dalam kidung dan doa itu berisi penghormatan pada jasa mereka yang sudah membangun kawasan ini, yakni para abdi dari Kerajaan Majapahit: Mbah Bei Kayangan bersama Kyai Dira, dan Kyai Somaita.
"Mereka yang mengawali berdomisili di sini, sampai kemunculan penduduk di sini. Sepatutnya kita semua mengingat jasa beliau hingga ada (membangun) bendungan (untuk pengairan) ini. Karena jasa mereka maka masyarakat sekarang jadi makmur dan pertanian maju,” kata Bambang Nursinggih dari Sekar Pangawikan.
Kidung juga berisi pengharapan akan kehidupan warga yang selalu sejahtera, damai, rukun, hasil-hasil warga yang selalu baik, dan kemakmuran desa.
Warga, budayawan, dan seniman-seniman kemudian sepakat untuk membuat upacara tradisi yang lebih besar dan meriah pada tahun 1990-an.
Sejak itu, kembul pun berkembang seperti sekarang. "Ini tradisi lama yang dikemas lebih bagus sejak 1990-an. Dulu sepi sekali karena hanya warga sekitar, tapi sekarang karena sudah dikemas dengan baik jadi seramai ini," kata Godod Sutejo, 65 tahun, seniman asal Yogyakarta yang ikut menggagas awal festival.
Menurut Godod, hasilnya semakin memuaskan tiap tahun. "Banyak kemajuan desa dan sekitarnya. Ini menjadi bagian dari keberhasilan desa menarik wisatawan," katanya.