BANYUWANGI, KOMPAS.com - "Banteng jantan yang berwarna coklat itu mengalami kelainan genetik. Alat kelaminnya tidak sempurna. Jika dilihat dari tanduknya, usianya sekitar 5 tahunan," kata Banda Nuhara, koordinator unit pengelolaan banteng Sadengan Taman Nasional Alaspurwo kepada beberapa pengunjung yang datang ke Sadengan, Jumat (30/11/2018).
Jarak banteng dengan pengujung yang datang tidak kurang 100 meter dan hanya dibatasi pagar kayu setinggi kepala manusia dewasa. Banda menjelaskan jika siang itu ada sekitar 47 banteng yang berkumpul di savana Sadengan.
Jika dalam keadaan sepi, banteng juga masuk ke wilayah menara pengawas dan hanya berjarak 1,5 meter dari manusia. Selain itu ada beberapa merak juga terlihat sedang mencari makan di sekitar Sadengan.
Sadengan adalah salah satu feeding ground di TN Alaspurwo. Feeding ground di TN Alaspurwo dibuat di tiga titik pada tahun 1975 untuk meningkatkan populasi banteng yaitu di Payaman seluas 25 hektar, Pancur seluas 5 hektar dan Sadengan seluas 75 hektar.
Namun feeding ground di Payaman gagal karena tidak ada ada sumber air dan hanya menjadi jalur lintas satwa, sedangkan di Pancur berubah fungsi menjadi camping ground.
Pada tahun 1978, Sadengan ditetapkan sebagai feeding ground melaui SK Direktorat Jenderal Perlindungan dan Pelestarian Alam. Pembukaan lahan di Sadengan awalnya menggunakan sistem tumpang sari.
"Dulu hutan dataran rendah. Ada savana seluas 6 ribu hektar namun beralih menjadi hutan jati," kata Banda.
Pada tahun 1999, Sadengan juga terinvasi eceng-eceng dan kerinyu sehingga luasan berkurang hingga 13 hektar dan pada tahun 2003, padang savana yang tersisa hanya 2 hektar.
"Sejak tahun 2008 kita lakukan pembinaan habitat melalui eradikasi tumbuhan invasif seperti jenis johar, trenyu dan enceng-enceng hingga hari ini," kata Banda.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.