Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pengalaman Unik Belanja di Pasar Sanggeng Manokwari

Kompas.com - 15/12/2018, 16:06 WIB
Vitorio Mantalean,
Wahyu Adityo Prodjo

Tim Redaksi

MANOKWARI, KOMPAS.com - Angkasa Kota Manokwari, Papua Barat, lapang tanpa awan yang menghalang. Panas matahari serasa pindah ke sekujur kulit, baik kulit tubuh kami maupun kulit jok motor yang kami tunggangi.

Kami tiba di Pasar Sanggeng di Distrik Manokwari Barat usai 20 menit berkendara dari Distrik Pasir Putih. Gedungnya terdiri dari dua tingkat, berwarna biru tua dengan ornamen jingga. Sekilas, bentuknya serupa dengan Pasar Tanah Abang di Jakarta.

Saya menepikan motor dan bersiap turun. Rekan yang saya bonceng, Iky memilih bertahan menjaga motor. Ia yang sudah lebih lama tinggal di Manokwari berujar, faktor keamanan di sini agak-agak bermasalah.

Tujuan kami ke Pasar Sanggeng ialah memburu sejumlah bahan makanan nonkemasan. Bahan makanan nonkemasan di pasar tentu lebih murah dan segar ketimbang di pasar swalayan terbesar di kota ini, pikir kami.

Tampak depan Pasar Sanggeng, Manokwari. Tampak depan Pasar Sanggeng, Manokwari.
Sepanjang jalan yang agak lebar di sisi kanan pasar, mama-mama Papua berderet menggelar dagangannya.

Baik trotoar maupun tepi jalan, seluruhnya dijejali oleh mama-mama penjaja noken (sejenis tas khas Papua), sayur-mayur, dan tentu saja pinang-sirih-kapur yang mustahil absen dari kehidupan orang-orang Papua.

Sayur kangkung, yang bercokol di pucuk daftar belanja, segera saya sambar. Kangkung-kangkung itu tampak segar, gemuk, dan lebar-lebar seperti baru diboyong dari Pegunungan Arfak di sisi tenggara kota.

Seikat kangkung dijual Rp 5.000 oleh mama-mama penjaja. Saya membeli tiga ikat. Kebetulan, si mama ini pun menjual beberapa jagung.

Saya melanjutkan transaksi, “Jagung harga berapa, kah, Mama?”

“Satu sepuluh ribu,” tegas mama.

Mahal betul, saya menggumam. Kepalang bertanya, saya putuskan membeli tiga bonggol jagung yang masih terbungkus daunnya itu.

Dengan tangan menjinjing kantong plastik berisi kangkung dan jagung, saya meneruskan langkah hingga ke suatu turunan gang di sebelah kiri. Gang tersebut rupanya sisi belakang gedung pasar.

Terpal-terpal bernaungan, para penjaja pun berjejalan di samping kiri-kanan. Cuaca masih panas. Saya segera menyasar seorang ibu penjaja bawang.

Saya memanggilnya “ibu” sebab perawakannya sama sekali bukan perawakan Melanesia. Si ibu agaknya orang Bugis, yang juga cukup sering ditemui di Papua.

Dengan cekatan, ia meraup bawang yang hendak saya beli ke atas timbangan. Saya menyerahkan uang Rp 40.000 buat membayar sekilo bawang.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com