Masih ada kubis yang belum tercoret dari daftar buruan. Setelah beberapa kali celingukan, akhirnya saya menemukan mama-mama penjual kubis selonjoran di sebelah kiri.
“Mama, kubis berapa (harganya), kah?”
“Yang kecil 5 ribu, yang besar 10 ribu,” jawabnya dengan logat khas Papua.
Tanpa perlu teliti, mata siapapun niscaya sanggup menaksir bahwa ukuran kubis yang kecil tak sampai separuh kubis besar. Sontak, akal sehat saya memilih menebus dua buah kubis berukuran kecil.
Dengan harga yang sama, saya memperoleh total kubis yang lebih berat. Hal yang persis sama sejurus kemudian saya lakukan juga ketika menebus dua ikat sawi hijau.
Buruan tuntas. Saya menghampiri Iky yang nyaris lumer dibekap terik siang akibat menjaga motor di pinggir jalan.
“Di sini harganya memang genap-genap,” jawabnya tersenyum.
Di sana, tak ada harga-harga selain kelipatan Rp 5.000, terutama pada lapak mama-mama Papua. Entah apa penyebabnya. Mungkin, mereka merasa repot buat menyiapkan uang-uang kembalian.
Namun, Iky kecewa dengan jagung hasil buruan saya yang ditebus seharga Rp 10.000 tetapi masih terbungkus daun. Saya balik melesat ke pasar, untuk beberapa saat kemudian kembali dengan tiga bonggol jagung yang sudah telanjang. Berapa harga masing-masing jagung itu? Sama-sama Rp 10.000.
Jadi, apakah harga sayur yang dijual ditentukan atas dasar pertimbangan "yang penting genap?"
Keunikan-keunikan ini boleh jadi tak hanya berlaku di Pasar Sanggeng atau Manokwari. Memang, Tanah Papua selalu sarat keunikan yang patut untuk dijelajahi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.