JAKARTA, KOMPAS.COM - Siapa tak tahu Suku Toraja di Sulawesi Selatan dengan rumah Tongkonannya? Kunjungan Presiden Joko Widodo, Minggu (23/12/2018) turut andil menyegarkan ingatan kita soal suku yang satu ini.
Dengan kekayaan budaya dan keindahan panorama alamnya, tak ayal Toraja begitu memikat sebagai destinasi wisata. Akan tetapi, tahukah Anda bahwa di balik pariwisata Toraja, terdapat seluk-beluk sejarah yang bergolak?
Toraja yang dikenal saat ini telah mengalami sejumlah penyesuaian budaya yang membuatnya tidak seratus persen sama dengan Toraja zaman dulu.
Baca juga: Rasakan Sensasi Berkemah di Atas Awan Hanya di Lolai, Toraja Utara
Dikutip dari artikel jurnal Ethnic Tourism and the Renegotiation of Tradition in Tana Toraja (1997), antropolog Kathleen Adams mencatat secara rinci berbagai cerita Suku Toraja menghadapi perubahan zaman sampai pariwisata massal.
Cerita bermula ketika Suku Toraja, yang bermukim di dataran tinggi dan antar-kampungnya terisolasi, mulai berinteraksi dengan suku lain akibat kebijakan politik kolonial Belanda pada 1906.
Baca juga: 6 Tempat Wisata Kuburan Kuno di Toraja
Aneksasi Belanda terhadap Suku Toraja kemudian membuka jalan bagi praktik misionaris di Tana Toraja. Namun, selama lima dekade, hanya segelintir orang Toraja yang berpindah dari kepercayaan Atuk to Dolo ke Agama Kristen.
Baca juga: Mengenal Uniknya Makanan Khas Toraja
Meski begitu, saat ini sejumlah orang Toraja beragama Kristen pun tetap merayakan rambu solo, ritual pemakaman jenazah yang melibatkan kepercayaan terhadap roh leluhur.
“Bali Kedua” di Masa Orde Baru
Pada awal era Orde Baru, wisata ke Toraja masih belum masif lantaran akses jalan yang buruk, di samping perhatian pemerintah pusat yang cenderung terkonsentrasi di Jawa, Bali, dan Sumatera.
Baca juga: Perhatikan Hal Ini Saat Berkunjung ke Toraja Utara
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.