Satu sisi, pariwisata massal yang merambah Toraja tentu berdampak signifikan bagi arus ekonomi penduduk, terlebih dari hasil penjualan suvenir.
Namun, Tana Toraja bukan museum. Budaya yang dipandang menarik oleh para turis bukan untuk diperdagangkan, melainkan punya unsur sakral yang dihayati oleh anggota suku.
Banyak anggota suku Toraja, khususnya para tetua, merasa resah karena kebudayaan mereka justru terkikis menjadi sebatas tontonan para turis.
Kathleen Adams, pada artikel jurnal terdahulunya Cultural Commoditization in Tana Toraja, Indonesia (1990) malah pernah mencatat soal intervensi pemerintah terhadap budaya Toraja agar dapat terus menarik turis.
Selain itu, tak jarang pula pariwisata masif ini membuat orang-orang Toraja merasa terbelakang di antara para turis yang berasal dari peradaban yang lebih modern.
Jengah, pada 1987, sejumlah desa menutup pintu bagi pariwisata. Pariwisata dirasa terlalu jauh mencampuri urusan lokal budaya Toraja.
Pada upacara rambu solo, misalnya. Sebagai informasi, upacara ini bukan semata pemakaman, melainkan juga ajang unjuk kelas sosial.
Semakin tinggi kelas sosial keluarga, biaya upacara pemakaman kian mahal karena bertambahnya jumlah kerbau dan babi yang dijadikan persembahan. Biaya prestise ini juga akan terus membengkak jika semakin banyak tamu yang menyaksikan rambu solo.
Masalahnya, kepentingan pariwisata membuat jumlah turis yang menyaksikan rambu solo juga kian gendut. Di samping itu, orang-orang Toraja perlahan "diminta" berkompromi dengan birokrasi agen perjalanan yang berkaitan dengan “acara pertunjukan” rambu solo.
Mereka juga mesti menampung komentar miring para turis yang merasa ritual tersebut menyia-nyiakan sejumlah besar kerbau dan babi itu. Padahal, sejumlah besar daging kerbau dan babi tersebut akan dibagikan pula pada keluarga yang kekurangan.
Seiring dengan menggendutnya jumlah kunjungan wisman, Pemerintah Kabupaten Tana Toraja meluncurkan Kursus Pariwisata Khusus Pemandu Lokal pada 1985. Kursus ini bertujuan agar suku-suku Toraja tetap memegang peranan sebagai pemandu di kampung halamannya.
Di sisi lain, demi kepentingan promosi, diharapkan terdapat keseragaman informasi yang nantinya diterima para turis dari para pemandu yang berasal dari kampung-kampung berbeda.
Bak buah simalakama, inisiatif ini justru berbuntut panjang. Terjadi adu mulut antar-pemandu yang latar belakangnya beragam. Masing-masing mendesak agar “Toraja versi budaya mereka”-lah yang diakui sebagai Toraja yang akan diperkenalkan ke mancanegara.
Tentu saja perdebatan ini berunsur politis pula. Pengakuan dari para turis tentu akan mengukuhkan derajat sosial keluarga, selain mengundang lebih banyak turis ke kampung mereka, yang berarti semakin banyak pundi-pundi yang terkumpul.
Untuk menengahi, bangsawan-bangsawan terkemuka dari beberapa kampung yang telah mapan sebagai destinasi wisata ditunjuk sebagai “pengajar” tentang budaya Toraja. Mereka yang lulus ujian akan didaulat sebagai pemandu wisata lokal tersertifikasi.
Sebab, sejak dulu Toraja memang beragam. Kondisi geografis yang mengisolasi membuat masing-masing kampung memiliki budaya dan tradisinya masing-masing yang tidak seratus persen seragam.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.