JAKARTA, KOMPAS.com - Menempuh perjalanan menuju kota-kota di Pulau Jawa kini makin mudah dengan adanya tol Trans Jawa. Bahkan waktu tempuh dari Jakarta sampai Surabaya yang sebelumnya harus sampai belasan jam, kini bisa dipangkas menjadi beberapa jam saja.
Namun tetap ada plus minus tersendiri bila membandingkan dengan menempuh perjalanan lewat jalur reguler, yakni Pantai Utara alias Pantura. Pengalaman ini sudah redaksi Kompas.com rasakan ketika melakukan Komparasi Trans Jawa menggunakan Mitsubishi Xpander di awal Januari 2019 lalu.
Sesuai temanya, satu unit Xpander menempuh perjalanan menuju tol Trans Jawa, sedangkan satu lagi blusukan lewat jalur legendaris Pantura. Pembahasan kami tidak hanya soal teknis seperti waktu tempuh, bahan bakar, performa kendaraan dan lain sebagainya, tapi juga wajib menyelesaikan beberapa tantangan yang diberikan, seperti menyapa dan menikmati kearifan lokal di tiap kota yang disinggahi.
Baca juga: Komparasi BBM Xpander Melintasi Jalur Trans-Jawa, Tol Versus Reguler
Kearifan lokal yang dimaksud lebih ke konten makan khas daerah, alias kuliner lokal. Nah, untuk urusan yang satu ini, tim yang berangkat ke Surabaya via Pantura jauh lebih beruntung, pasalnya hampir semua kota yang disinggahi memiliki menu makanan khas yang beraneka ragam. Sementara yang menempuh perjalanan via tol Trans Jawa, hanya menikmati makanan seadanya yang tersedia di rest area.
Jadi meski secara waktu tempuh tim Pantura harus berbesar hati melakukan perjalanan hingga 15 jam 41 menit menuju Kota Pahlawan, tapi urusan mencicipi cita rasa makanan lokal jauh lebih unggul. Sekadar informasi, tim yang melintas ke Surabaya via Trans Jawa berhasil sampai lebih dulu hanya dengan waktu waktu tempuh 9 jam 43 menit.
Nah, bicara soal santapan lokal di Pantura, aslinya cukup banyak yang bisa dirasakan. Namun karena faktor keterbatasan waktu, akhirnya tim memutuskan hanya menjajal beberapa jenis makanan menyesuaikan waktu santap, yakni siang dan malam di kota yang sedang kita lewati.
Warteg di Kota Tegal
Ada ide lucu saat kondisi perut mulai "keroncongan" jelang makan siang. Kebetulan tim saat itu sedang melintasi kota Brebes dan hendak menuju Tegal, akhirnya berinisiatif untuk mencari Warung Tegal (Warteg) di kota Tegal.
Sekaligus menjawab rasa penasaran, sebenarnya ada tidak Warteg di Kota Tegal ? lantas bagaimana rasanya dibandingkan jaringan warteg di Jakarta.
Setelah kurang lebih berputar selama 20 menit di kota Tegal, dan atas bantuan referensi dari peta digital, akhirnya tim mendapat satu rekomendasi warteg yang lokasinya berada di Jalan Kolonen Sugiono dan masih berada di lintas Pantura, yakni Warteg Moncer.
Tanpa banyak basa-basi, tim pun langsung memesan beberapa menu yang dihidangkan pada etalase kaca.
Secara sajian, rupanya tidak jauh berbeda dengan kebanyakan warteg lain. Beberapa jenis makanan standar rumahan tetap menjadi andalan, seperti oreg tempe, oreg kentang, telur balado, mie goreng, tahu dan tempe, sayur tahu, buncis, perkedel, dan lain sebagainya tetap bisa anda nikmati.
Baca juga: Kuliner Sepanjang Tol Trans Jawa, Citarasa Mal Sampai Angkringan
Untuk rasa bisa dibilang "11-12" dengan Jakarta, namun untuk harga sedikit lebih ramah, karena dengan segala menu makanan beserta tambahan minuman dan kerupuk yang disantap empat orang, tim hanya mengeluarkan dana sebesar Rp 60.000.
Durian Lokal Jalur Tengkorak Alas Roban
Usai perut kembali dalam posisi "fulltank", perjalanan menuju ke Surabaya via Pantura kembali berlanjut. Setelah Tegal, tim sempat menyambangi salah satu pasar yang menjajakan sentra batik di Pekalongan, namun berhubung tak banyak waktu, maka langsung tancap gas lagi.
Kurang lebih hampir dua jam perjalanan, tim memasuki Kabupaten Batang, Kecamatan Grinsing. Nah, di wilayah ini ada lintasan legendaris yang cukup terkenal pada eranya, yakni Alas Roban.
Sebelum memasuki kawasan tersebut, tim sudah disajikan dengan pemandangan belantara hutan jati, sementara untuk lintasan tetap tidak berubah, kondisi aspal masih bergelombang.
Jalur Alas Roban merupakan akses utama untuk menuju Semarang. Sebelum ada perbaikan infrastruktur, dulunya Alas Roban memiliki medan jalan yang menanjak dan turunan curam, bahkan kawasan ini kerap disebut sebagai Jalur Tengkorak karena tingginya angka kecelakaan yang kerap terjadi.
Untungnya tim tidak melintas jalur lawas tersebut, kerena untuk mobil pribadi kini telah dibuatkan akes sendiri. Penasaran ingin bernostalgia di Alas Robang, akhirnya tim memutuskan untuk berhenti di salah satu warung pinggir jalan.
Niat hati ingin melonjorkan kaki dan meneguk secangkir kopi pun pupus ketika melihat tumpukan buah durian, apalagi aromanya sudah menggoda sejak keluar dari kabin Xpander.
Baca juga: Mudik Lewat Pantura, Berani Coba 5 Sate Kambing Muda Favorit di Tegal?
Tak banyak bicara, salah satu tim langsung meminta pedagang "membelek" durian tersebut. Setelah melihat isinya, tangan pun tak sabar langsung ingin mengambil salah satu buah dan mencicipinya.
Alhasil rasanya cukup lumayan, tidak terlalu manis dan tidak terlalu pahit. Menurut keterangan pedagang, durian yang kami makan adalah buah lokal Alas Roban yang memiliki kemasan lebih kecil dari biasanya.
Sekitar 20 menit beristirahat dan menghabiskan dua buah Durian, tim pun kembali melanjutkan perjalanan menuju Semarang. Menariknya, dua Durian nikmat yang kami makan ternyata dibanderol dengan harga yang menurut kami cukup murah, yakni Rp 70.000, dengan perhitungan satunya dipasarkan Rp 35.000.
Unboxing Grang Asam
Tim akhirnya sampai di Semarang, dan langsung berlanjut terus menuju kota berikutnya sekaligus mencari tempat singgah untuk menyantap makan malam. Setelah berembuk, akhirnya sepakat untuk mencari satu menu makanan istimewa khas Kota Kudus yang kabarnya bisa menyegarkan badan, yakni Garang Asem.
Meski sekilas bentukannya seperti sayur, Garang Asem memiliki cita rasa yang berbeda. Disajikan berbungkus daun pisang yang telah direbus bersama kurang lebih satu setengah sampai dua jam, rasa asem bercampur pedas menjadi ciri utama yang membuat makanan ini sedap untuk dinikmati.
Baca juga: Ada yang Hilang di Sepanjang Jalur Pantura
Kebetulan tim melewati salah satu rumah makanan yang terkenal dengan sajian Garang Asemnya, yakni Gasasa Garang Asem Sari Rasa Cabang 1. Lokasinya berada di Jalan Raya Pati-Kudus lintas Pantura, Gajihan, Kaliling. Beruntung saat tim datang ternyata stok menu istimewa tersebut masih ada dan langsung memesannya sebanyak empat bungkus.
Keunikan menikmati Garang Asem saat akan memakannya, yakni harus membuka lebih dulu daun pisang yang membungkusnya, atau sebutan kerennya "unboxing". Setelah dibuka, aroma sedap paduan asam dan pedas langsung menggoda perut yang kosong. Menurut Eli, salah satu staf rumah makan Gagasa, untuk menikmati cita rasa Garang Asem dianjurkan untuk menyantapnya dalam kondisi hangat.
Baca juga: Biaya Perjalanan Jalur Darat Trans Jawa dalam 2 Skenario
Tak banyak instruksi, setelah terbuka tim pun langsung menuntaskan Garang Asam berisi daging ayam kampung yang lembut karena telah direbus sekian lama tersebut hanya dalam hitungan menit. Sensasi makanan yang satu ini memang berbeda, paduan asam dan pedasnya memang mampun memberikan kesegaran tersendiri.
Nah, bagi yang pulang kampung melintasi Pantura, jangan lupa untuk singgah di rumah makan ini, selain nikmat, secara biaya juga terbilang ramah buat dompet. Total empat Garang Asem berisi ayam kampung beserta nasi, kudapan lain, dan minuman menghabiskan dana sebesar Rp 167 ribu.
Untuk lebih lengkap mengenai perjalanan Komparasi Trans Jawa, silakan simak keseruannya dalam video seri yang ditayangkan di channel youtube Otomotif Kompas.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.