Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jalan Panjang Ramen, Dari Lambang Penjajahan hingga Makanan Nasional Jepang

Kompas.com - 22/01/2019, 11:03 WIB
Vitorio Mantalean,
Wahyu Adityo Prodjo

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Bangsa Jepang mengenal tiga jenis mi dalam tradisi boganya. Ada udon, soba, dan ramen. Akan tetapi, jenis yang terakhir tidak dilahirkan oleh bangsa Jepang sendiri.

Ramen merupakan jenis mi yang diadaptasi dari salah satu ragam mi China, yakni lamian (baca: lamyen). Dalam dialek Hokkian, lamian merupakan mi yang diregangkan, merujuk pada proses pembuatannya.

Dikutip dari buku The Untold History of Ramen (2014) karangan George Solt, kemungkinan besar ramen dikenalkan oleh seorang koki Tionghoa di salah satu restoran Tokyo pada tahun 1910.

Perbedaannya yang mencolok dengan udon dan soba mencakup teksturnya yang lebih tebal dan kenyal, warnanya yang kekuningan, serta bumbu yang lebih pekat dan berkaldu.

Lambang penjajahan

Sebelum disebut “ramen”, ramen lebih dulu dijuluki “shina soba” (mi china). Julukan ini, kendati terkesan biasa saja, rupanya punya muatan politis seiring konteks penyebutannya di masa itu.

Ilustrasi soba jepang. Berbeda dengan ramen, soba punya tekstur yang lebih kurus dan berwarna pucat.SHUTTERSTOCK Ilustrasi soba jepang. Berbeda dengan ramen, soba punya tekstur yang lebih kurus dan berwarna pucat.
Pada tahun 1930-an, Jepang mulai menginvasi bangsa-bangsa Asia, termasuk China, dan menjajahnya untuk sekian tahun. Invasi ini kemudian meletakkan Jepang sebagai bangsa yang lebih superior.

Penyebutan “China” dalam “shina soba” terselip cercaan implisit pada etnis Tionghoa yang saat itu kedudukannya inferior. Fenomena ketika penyebutan “China” mengandung olok-olok tersebut mungkin serupa dengan diskriminasi rasial terhadap etnis Tionghoa di Indonesia pada era Orde Baru.

Pendudukan Jepang atas China kemudian melahirkan pula fenomena “ledakan China”. Segala produk budaya Tionghoa mulai dari dekorasi, pakaian, hingga makanan dikonsumsi besar-besaran oleh warga Jepang sebagai simbol penjajahan secara konkret.

Shina soba yang tengah menjadi makanan favorit orang Jepang pun tak terhindarkan dari lambang itu. Dengan kata lain, melahap semangkuk shina soba disamaartikan oleh warga Jepang sebagai upaya mencaplok China itu sendiri, secara konotatif.

Penggunaan istilah “shina soba” baru redup usai Jepang kalah dalam Perang Dunia II dan kehilangan otoritasnya atas Negeri Tirai Bambu.

Ramen di Wakayama JepangDOK. Visit Wakayama Ramen di Wakayama Jepang
Dari masa kelam hingga menjadi makanan “nasional”

Perang Dunia II (1939-1945) pun berkontribusi terhadap redupnya popularitas ramen. Masa-masa sulit itu memaksa penduduk Jepang menghindari aktivitas “bermewah-mewah” seperti makan besar, di samping suplai pangan yang juga mampet.

George Solt mengutip catatan seorang pakar boga Jepang yang lahir pada 1937:

“Sejak 1944, bahkan di pedesaan, lapangan sekolah dijadikan ladang ubi. Kami memakan semua bagian ubi, dari daun sampai ujung akar. Untuk protein, kami memakan kepik, larva, dan segala serangga yang kami temukan di akar-akar tanaman. Bahkan di desa, makanan begitu langka.”

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com