JAKARTA, KOMPAS.com - Perayaan tahun baru hampir selalu dirayakan dengan penuh suka cita. Tak terkecuali bagi kalangan Tionghoa, yang juga merayakan Imlek dengan penuh suka.
Akan tetapi, selain bergembira, tradisi Tionghoa juga menyelipkan ritual sembahyang leluhur untuk mengingat kembali sekaligus mendoakan para leluhur. Tradisi ini dilakukan tak lama menjelang Tahun Baru Imlek.
KompasTravel mendatangi keluarga keturunan Tionghoa di bilangan Jakarta Barat yang tengah menggelar sembahyang leluhur.
Prosesi sembahyang di rumah tersebut dimulai tepat pukul 10 pagi. Seorang nenek mengambil hio (sejenis dupa) berukuran besar, membakar ujungnya, lalu melangkah melewati meja sembahyang sambil membawa hio yang mulai berasap wangi. Ia keluar pintu, berdiam sejenak di balkon rumah lantai dua.
Baca juga: Jangan Asal Mengepal, Ini Makna di Balik Salam Orang Tionghoa
Sesaat kemudian, si nenek mengangkat hio dengan kedua tangannya hingga persis di depan kening, mengayun-ayunkannya, seraya menunduk berulang kali.
Ia kembali ke dalam rumah, kemudian meletakkan hio tersebut di atas meja, bersandingan dengan pigura foto suami dan kedua orang tuanya yang telah tiada. Di hadapan pigura-pigura itu, berjajar aneka rupa hidangan, selain sepasang sumpit yang menancap tegak di mangkuk berisi nasi.
Fifi (67), putri sulung si nenek menyebut jika tradisi sembahyang leluhur telah dijalankan turun-temurun setiap tahunnya menjelang Imlek.
“Kalau bukan kita, siapa lagi yang ingat leluhur kita,” ucapnya, menirukan pesan mendiang ayahnya. Sebagai anak sulung, ia bertanggung jawab atas kelangsungan prosesi ini.
Bahkan, sajian yang ia hidangkan di meja sembahyang masih persis sama dengan yang diwasiatkan ayahnya semasa hidup. Secara berurutan, ia menghidangkan lima cangkir teh, lima mangkuk arak, semangkuk nasi dan tiga mangkuk sayur. Ada pula tiga macam kue yang masing-masing berjumlah lima. Di barisan paling depan, teradapat tiga buah jeruk, pir, dan apel.
Setelah mendoakan leluhur, Fifi beranjak ke arah balkon dengan segepok kertas berlainan warna. Berdasarkan pengamatan KompasTravel, terdapat kertas berwarna kuning mengilap serta kertas putih dengan ornamen perak di tengahnya.
Selang beberapa saat, Fifi menyulut satu per satu lembar kertas dengan api, kemudian memasukannya ke tong khusus di pojok balkon. Usai membakar belasan lembar kertas, Fifi meminta adiknya ganti membakar kertas. Matanya pedih oleh asap.
“Ini ceritanya ngirim uang buat leluhur yang sudah datang ke sini dan mau pulang lagi,” ujar Mimin (64), adik Fifi.
Di tempat lain, Surya (48) juga melakukan tradisi serupa di rumah kontrakannya. Sedikit berbeda dengan Fifi, Surya lebih luwes dalam melakukan tradisi ini.
Baca juga: 5 Etika Bersantap Masyarakat Tionghoa yang Perlu Anda Perhatikan
Pertama, ia tidak melangsungkan prosesi pembakaran “uang-uangan” yang Fifi lakukan. Kedua, ia juga tak berangkat dari pakem tertentu ihwal menu yang mesti disajikan ketika sembahyang leluhur.
Meja sembahyang pun terletak di bagian dalam rumah, tepatnya di dekat dapur.
“Kalau dulu, Papa pakai dua meja. Satu meja panjang ditaruh di depan dekat pintu keluar,” kenangnya.
“Dulu, yang di meja panjang itu untuk sembahyang ke Di Gong (baca: ti kong, Dewa Bumi). Meja yang di dalam untuk leluhur,” tambah Irvan (58), kakak Surya, menguatkan.
Untuk mengetahui apakah prosesi sudah dapat diakhiri, biasanya salah seorang anggota keluarga akan melempar sepasang koin. Jika kedua koin menampakkan gambar berbeda, tandanya arwah leluhur sudah selesai bersantap. Meja sembahyang dapat dibereskan, lalu hidangan tersebut boleh disantap anggota keluarga.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.