Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Melirik Kain Tenun Sikka Jenis "Tama Lu'a" di Bukit Sion

Kompas.com - 15/02/2019, 11:24 WIB
Nansianus Taris,
I Made Asdhiana

Tim Redaksi

Proses menenun Tama Lu'a biasanya memakan waktu 3 hari. Sementara itu, proses menenun ragi mite (sarung Palue) biasanya memakan waktu 4 hari.

Menurut Mama Tina, tahapan menenun yang paling sulit adalah membuat motif Tama Lu'a. Selain itu, penenun mesti punya gerakan tubuh yang lentur agar bisa menenun Tama lu'a dengan mudah.

Jika tidak, tubuh akan menderita pegal-pegal. Tama Lu'a pun akan butuh waktu yang agak lama untuk selesai ditenun.

Mama Tina menceritakan, para pengungsi dari Palue di Hewuli menenun Tama Lu'a untuk berbagai kepentingan yang berbeda. Biasanya, Tama Lu'a ditenun untuk pertama keperluan adat istiadat di kampung dan kedua tambah penghasilan keluarga dengan cara menjualnya.

Untuk kepentingan yang pertama, Tama Lu'a ditenun misalnya untuk acara adat Laki Mosa yang akan digelar pada tanggal 5 November 2019. Ritual laki mosa di Palue digelar sekali dalam 5 tahun.

Selama 5 hari, masyarakat adat di Palue akan menari togo (tandak). Selama 5 hari pula, mereka akan memberi makan gratis bagi orang banyak. Dalam ritual adat semacam inilah, Tama Lu'a jadi pakaian adat yang wajib dikenakan.

Untuk kepentingan yang kedua, Tama Lu'a ditenun untuk kemudian dijual di Pasar Alok, di Kota Maumere.

"Selembar Tama Lu'a dijual dengan harga Rp 500.000. Tama Lu'a selalu laris manis dibeli oleh orang Maumere. Para turis mancanegara biasanya membeli selembar Tama Lu'a dengan harga Rp 1 juta. Uang hasil penjualan Tama Lu'a dipakai untuk membiayai kehidupan rumah tangga dan membayar ongkos anak sekolah," cerita Mama Tina.

Menenun Tama Lu'a bukanlah pekerjaan yang mudah. Namun, Mama Tina melakukannya dengan amat sangat lincah. Ternyata, perempuan murah senyum ini mulai berlatih menenun sebelum tamat Sekolah Dasar (SD) di Palue. Ia diajar oleh mama kandungnya sendiri.

"Sejak kecil, kalau tidak ke kebun, kami dilatih tenun sarung di rumah," katanya.

Prihatin dengan Generasi Milenial

Mama Tina mengaku prihatin dengan generasi sekarang atau milenial yang gagap menenun Tama Lu'a. Para gadis Palue sekarang umumnya tidak bisa menenun. Keterampilan menenun menjadi monopoli perempuan tua. Padahal, tenun ikat memiliki nilai jual yang tinggi dan juga warisan nenek moyang.

Walaupun memiliki pendapatan yang menjanjikan, menenun Tama Lu'a bukanlah satu-satunya pekerjaan mama Tina. Pekerjaan utama ibu dua orang anak ini adalah petani. Ia punya empat  lahan kebun.

Mama Tina saat menenun kain tenun Sikka jenis Tama Lua di rumah pengungsian Bukit Sion, Kelurahan Hewuli, Kecamatan Alok Barat, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT), Senin (11/2/2019).KOMPAS.com/NANSIANUS TARIS Mama Tina saat menenun kain tenun Sikka jenis Tama Lua di rumah pengungsian Bukit Sion, Kelurahan Hewuli, Kecamatan Alok Barat, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT), Senin (11/2/2019).
Di kebun, ia tanam jagung, kacang hijau, kacang panjang, kacang kayu, ubi kayu, dan jambu mente. Sejak zaman nenek moyang, orang Palue tidak tanam padi. Oleh karena itu, makanan pokok orang Palue bukanlah beras, melainkan jagung dan ubi.

"Beras jarang dimakan. Pagi kami makan ubi," katanya.

Pada saat Gunung Rokatenda mengamuk dan memuntahkan lahar panas pada 2013, Mama Tina merasa amat berat hati meninggalkan kampung halaman. Di Palue, keluarga mama Tina adalah tuan tanah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com