Kisah Tradisi Etu di Kampung Wulu Nua Puu
Sebelumnya Benyamin Tongo meminta izin kepada leluhurnya. Kemudian mengisahkan tradisi Etu kepada Kompas.com.
Benyamin Tongo mengisahkan, cerita Tradisi Etu merupakan warisan dari ayahnya, Almarhum Petrus Klaver Loy. Ayahnya memperoleh cerita itu dari nenek moyangnya. Nenek moyang pertama dari Suku Tongo di Kampung Wulu Nua Puu, almarhum Jata Rike.
Benyamin Tongo meminta memasukkan nama Severius Tongo yang berhadapan rumahnya sebagai penjaga utama Kampung Wulu Nua Puu.
Tongo menjelaskan, diperkirakan 3 abad lalu, orang Nagekeo dan Ngada memiliki tradisi berburu binatang liar untuk dikonsumsi.
Orang Keo menyebut "Toalako" itu berburu. Awalnya tradisi Etu dilakukan warga adat di Kampung Leghu-Boakota, saat Etu dilaksanakan di kampung itu ada korban jiwa. Itu berarti tempat itu tidak cocok untuk diadakan tradisi Etu.
Sekitar tahun 1956, nenek moyang Suku Tongo, Jata Rike menemukan Kampung Wulu di lereng bukit Kelinata saat berburu. Saat itu leluhur itu menetap di kampung itu sambil berburu dan melakukan nyanyian adat, orang Keo menyebutnya “Dero”.
Lalu, mereka menggelar tradisi Etu sebagai warisan leluhur dari masyarakat adat Kabupaten Nagekeo dan Ngada. Saat digelar tradisi Etu di Kampung Wulu Nua Pua tidak ada korban jiwa. Itu berarti kampung dan tempat ini cocok dengan tradisi Etu dan sejak saat itu, tradisi Etu mulai dilaksanakan pertama pada bulan Februari setiap tahunnya.
Setelah tradisi Etu dilaksanakan di Kampung Wulu Nua Puu, baru kampung-kampung lain di seluruh Kabupaten Nagekeo dan Ngada boleh menggelar tradisi Etu.