JAKARTA, KOMPAS.com – Mendaki gunung agaknya sudah menjadi wisata petualangan yang populer di Indonesia. Namun sayangnya, kecelakaan dalam pendakian kerap terjadi di Indonesia. Kecelakaan terjadi karena berbagai faktor, termasuk kurangnya persiapan dan kondisi fisil para pendaki.
Menurut data yang dihimpun Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan atau yang dikenal dengan BASARNAS, kecelakaan pendakian mengalami peningkatan dalam empat tahun terakhir.
Kabid K3 Federasi Mounteneering Indonesia (FMI) dr. Iqbal El Mubarok mengatakan, ada berbagai prosedur yang terkadang luput dari perhatian para pendaki sehingga menyebabhan kendala hingga kecelakaan dalam pendakian, salah satunya mengenai pengecekan darah.
Iqbal menyebut, pengecekan darah penting dilakukan agar pendaki benar-benar mengerti kondisi tubuhnya dan dapat menyiapkan perlengkapan yang pas.
“Memang untuk teman-teman yang pendaki ini (cek darah) kan memberatkan, padahal kalau kita mau benar-benar zero insident, ya baiknya seperti itu. Karena kita kan enggak tahu, kan bisa dibilang pendakian itu ekstrem ya. Walaupun sudah terlatih segala macam kita harus tahu bahaya-bahayanya kayak tadi yang menakutkan itu kan saat ini hipotermia,” ujar Iqbal saat ditemui di acara Deep and Extreme Indonesia (DXI) 2019 baru-baru ini.
Menurut Iqbal, cek darah berbeda dengan medical check up (MCU) yang biaya mencapai jutaan rupiah. “Cek darah itu paling Rp 100.000 sampai Rp 150.000 saja,” katanya.
Iqbal melanjutkan, melalui cek darah, Anda akan mengetahui kondisi kesehatan secara lengkap terutama yang tak terlihat secara fisik.
“Kita bisa mengetahui termasuk Hb (hemoglobin), sel darah merah, sel darah putihnya. Nah kalau misalkan tiba-tiba dari 5 orang yang akan mendaki, sel darah putihnya tiba-tiba ada yang meningkat, itu kan berarti dia kena infeksi,” tuturnya.
Menurut Iqbal langkah ini juga dapat digunakan untuk mengatur strategi apalagi jika pendakian dilakukan secara berkelompok.
Ia mencontohkan, jika dalam satu kelompok ditemukan satu orang memiliki Hb yang terlalu tinggi, maka orang tersebut dapat ditempatkan di tengah barisan dan menjadi perhatian utama seluruh tim.
“Kalau dia Hb-ya tinggi, sudah dapat dipastikan kalau dia mendaki pasti kemungkinan pusingnya tinggi. Kemungkinan dia akan lebih cepet lemas, ngantukan, itu juga terjadi. Jadi nanti tim harus benar-benar mengawasi Dia. Karena kalau kita naik gunung kan oksigen rendah, nah maka itu berpotensi untuk meningkatkan Hb. Makanya sebenarnya cek darah lengkap itu bisa meminimalisir kita terjadi ini,” paparnya.
Selain cek darah, langkah lain yang penting dilakukan seorang pendaki adah melakukan pengecekan EKG atau elektrokardiogram untuk merekam aktivitas kelistrikan jantung.
“EKG juga perlu karena Indonesia ini kan negara berkembang, sekarang kan ada istilahnya penyakit katastropik kayak diabetes, jantung koroner. Kita enggak tahu nih usia-usia masih muda, 25 tahun, kalau secara medis jarang terkena jantung. Ternyata enggak ada salahnya kita mengeluarkan biaya,” ujar Iqbal.
Jika prosedur medis ini dilakukan, diharapkan kecelakaan pendakian karena kondisi fisik pendaki dapat diminimalisir.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.