Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sejarah Logu Senhor, Tradisi Portugis yang Bersemayam di Sikka Flores

Kompas.com - 23/04/2019, 16:41 WIB
Nansianus Taris,
I Made Asdhiana

Tim Redaksi

MAUMERE, KOMPAS.com - Jumat (19/4/2019), tepat pukul 17.00 suasana di halaman Gereja Santo Ignatius Loyol (Gereja Tua Sikka) tampak ramai. Ribuan umat baru saja mengikuti misa perayaan Jumat Agung.

Mereka terlihat mengenakan pakaian serba hitam sebagai simbol berkabung akan Tuhan Yesus yang telah wafat.

Sebagian umat yang mengikuti perayaan Jumat Agung itu langsung pulang ke rumah. Sebagian juga bertahan di halaman gereja dengan mengenakan id card, memegang buku dan lilin di tangan.

"Mereka yang ada gantung id pers, ada pegang lilin dan buku panduan itu adalah peserta Logu Senhor. Tadi mereka sudah mendaftar di panitia," kata ketua panitia Logu Senhor, Firmianus Marianus kepada Kompas.com, Jumat malam.

Baca juga: Lantunan Doa Para Peziarah Logu Senhor di Gereja Tua Sikka

Saya dan teman jurnalis kemudian bertanya kepadanya sejarah sampai adanya tradisi Logu Senhor di Sikka.

Marianus kemudian mengarahkan saya dan teman jurnalis untuk berbincang dengan salah satu budayawan Desa Sikka yang memahami sejarah tradisi Logu Senhor itu.

Tepat di halaman Gereja Tua Sikka, seorang tokoh  tengah asik duduk menyendiri di kursi plastik berwarna hijau. Ternyata ialah budayawan yang dimaksudkan bapak Marianus tadi.

Orestis Parera, budayawan Desa Sikka yang menuturkan sejarah tradisi Logu Senhor.KOMPAS.com/NANSIANUS TARIS Orestis Parera, budayawan Desa Sikka yang menuturkan sejarah tradisi Logu Senhor.
Kami pun langsung menyambangi sang budayawan itu dan memperkenalkan diri serta menyampaikan tujuan menemuinya.

"Kalau berbincang dengan wartawan saya suka. Apalagi orang-orang muda. Saya siap menuturkan tradisi Logu Senhor sesuai yang saya ingat. Apalagi usia ini sudah tua, jadi banyak hal yang saya lupa," kata budayawan yang bernama Orestis Parera sembari senyum sumringah.

Ia menceritakan bahwa pada abad ke-15 sampai awal abad ke-16 wilayah Sikka dipimpin seorang bernama Moang Baga Ngang. Ia mempunyai 3 orang putra yaitu Moang Lesu, Moang Korung, dan Moang Keu.

Dari ketiga orang putra tersebut Moang Lesu lebih menonjol, terutama dalam hal wawasan dan kehidupan masyarakat Sikka mulai dari kelahiran, kehidupan, penyakit seperti yang diungkapkan dalam syair bahasa Sikka berikut ini:

"Niang ei Beta Mate Tanah ei Herong Potat Mate Due Rate Rua Potat Due Leda Telu.
Blutuk Niu Nurak di Mate Blupur Odo Korak di Potat Teri di Mate Era di Potat".

Artinya kedua ungkapan di atas adalah dunia ini tidak kekal abadi. Setiap ada kehidupan pasti ada kematian. Kematian tidak dibatasi umur. Yang bayi pun mati, yang tua renta pun mati. Kapan saja kematian itu pasti ada.

Para peziarah mengikuti prosesi Logu Senhor di Gereja Santo Ignatius Loyola (Gereja Tua Sikka), Kampung Sikka, Kecamatan Lela, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, Jumat (19/4/2019) malam.KOMPAS.com/NANSIANUS TARIS Para peziarah mengikuti prosesi Logu Senhor di Gereja Santo Ignatius Loyola (Gereja Tua Sikka), Kampung Sikka, Kecamatan Lela, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, Jumat (19/4/2019) malam.
Karena hal itulah, Moang Lesu memikirkan dan mencari kemungkinan di dunia ini ada tempat, kampung, dan pulau yang tidak ada penderitaan dan kematian.

Ia pun memutuskan untuk mengembara mencari tanah tersebut yang dalam bahasa Sikka "Tanah Moret".

Pada saat itu ia keluar dari Sikka menuju wilayah utara tepatnya di Pelabuhan Waidoko Maumere. Pelabuhan ini merupakan tempat persinggahan atau berlabuhnya kapal-kapal dagang dari Bugis, Buton, Makassar, Bonerate, dan Portugis dari tanah Malaka.

Di pelabuhan Waidoko, Moang Lesu bertemu dengan seorang anak buah kapal dagang Portugis yang bernama Dzogo Worilla.

Kepada Dzogo Worila ia bertanya, apakah di tanah mereka tidak ada kematian. Tetapi Worila menjawab bahwa di dunia ini manusia yang lahir, hidup dan pasti berakhir dengan kematian.

Namun, untuk mendapat kepastian akan jawaban itu, Moang Lesu diajak untuk bersama-sama berlayar menuju tanah Malaka. Moang Lesu pun berlayar ke Malaka bersama Dzogo Worila.

Parera melanjutkan, sampai di Malaka, Moang Lesu bertemu dengan Gubernur Malaka. Kepadanya ia menyampaikan maksud dan tujuan kedatangannya yaitu mencari "Tanah Moret".

Para peziarah mengikuti prosesi Logu Senhor di Gereja Santo Ignatius Loyola (Gereja Tua Sikka), Kampung Sikka, Kecamatan Lela, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, Jumat (19/4/2019) malam.KOMPAS.com/NANSIANUS TARIS Para peziarah mengikuti prosesi Logu Senhor di Gereja Santo Ignatius Loyola (Gereja Tua Sikka), Kampung Sikka, Kecamatan Lela, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, Jumat (19/4/2019) malam.
Gubernur Malaka pun menanggapi penyampaian Moang Lesu bahwa ada kehidupan yang bahagia dan kekal setelah kematian di dunia ini. Untuk mendapatkan itu Moang Lesu harus mengikuti persyaratan-persyaratan yakni membangun gereja dan mengikuti ajaran-ajaran gereja.

Moang Lesu pun menyetujui persyaratan-pesyaratan tersebut dan siap melakukan itu semua. Selanjutnya, ia pun mengikuti pelajaran Agama Katolik, pelajaran ilmu politik, dan pemerintahan selama 3 tahun.

Setelah itu ia dibaptis dengan nama Don Alexius Ximenes da Silva dan dilantik menjadi Raja Sikka oleh Gubernur Tanah Malaka.

Selama 3 tahun ia di Malaka. Lalu memutuskan untuk kembali ke Sikka. Sebelum pulang, ia menghadiahkan Gubernur Malaka dengan sejumlah emas dan wewangian yang dalam bahasa Sikka disebut "ambar menik" (muntahan ikan paus).

Sebaliknya, Gubernur Malaka nenghadiahkan Moang Lesu berupa Salib Senhor, Patung Meninung (Patung Kanak-kanak Yesus sebagai Raja), Tugur Griang (panji yang bergambar orang kudus), Regalia kerajaan dan sejumlah batang gading berukuran besar dan sedang.

Sekitar tahun 1960, Moang Lesu pun pulang ke Sikka dan didampingi seorang guru agama berkebangsaan Portugis bernama Agustino Morenho.

Setibanya di Sikka, Agustinho Morenho menyelenggarakan upacara pengukuhan kembali Moamg Lesu menjadi Raja Sikka.

Para peziarah mengikuti prosesi Logu Senhor di Gereja Santo Ignatius Loyola (Gereja Tua Sikka), Kampung Sikka, Kecamatan Lela, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, Jumat (19/4/2019) malam.KOMPAS.com/NANSIANUS TARIS Para peziarah mengikuti prosesi Logu Senhor di Gereja Santo Ignatius Loyola (Gereja Tua Sikka), Kampung Sikka, Kecamatan Lela, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, Jumat (19/4/2019) malam.
Setelah itu, ia mulai mengajar iman Katolik kepada keluarga Raja Sikka. Ia juga memimpin upacara Liturgi Gereja yaitu Liturgi Logu Senhor pada hari raya Jumat Agung yang dalam bahasa Sikka "Sexta Vera".

Ia menerangkan bahwa Logu Senhor berarti berjalan di bawah usungan Salib Senhor sambil membawa lilin yang bernyala seraya menyampaikan doa dan intensi dalam hati dan semoga dikabulkan oleh Tuhan Yesus yang menderita dan wafat di salib hari itu.

"Salib Senhor adalah suatu rahmat dan kekuatan dari Tuhan yang dapat menyembuhkan orang dari segala jenis penyakit yang sulit disembuhkan secara medis. Misalnya yang belum memiliki keturunan bahkan juga membebaskan orang dari penderitaan apa pun," terang Orestis Parera.

Ia menceritakan, para peserta Logu Senhor memberikan kesaksian iman bahwa dengan mengikuti upacara ini, Tuhan mengabulkan doa dan permohonan mereka.

Sejak saat itulah upacara Logu Senhor dilaksanakan pada perayaan Jumat Agung setiap tahunnya.

Parera menuturkan bahwa pada prosesi Logu Senhor sempat ditiadakan oleh para Imam Jesuit yang menjadi pastor paroki Sikka.

Para peziarah yang mengikuti prosesi Logu Senhor di Gereja Tua Sikka, NTT pada malam perayaan Jumat Agung. KOMPAS.com/NANSIANUS TARIS Para peziarah yang mengikuti prosesi Logu Senhor di Gereja Tua Sikka, NTT pada malam perayaan Jumat Agung.
Namun, selanjutnya berdasarkan kesepakatan umat dan persetujuan pastor paroki maka Logu Senhor ini kembali dilaksanakan seperti biasa dan bertahan sampai sekarang ini.

Harapan kepada Generasi Muda Sikka

Orestis Parera menambahkan, tradisi Logu Senhor yang sudah dirawat masyarakat Sikka tidak boleh tergerus oleh arus zaman yang kian modern.

Ia berharap, warisan sakral ini dijaga dan dipegang teguh oleh masyarakat Sikka terutama kaum muda.

"Saya sebagai orang tua di sini rasa senang dan bangga bahwa banyak orang muda di Sikka ini yang ikut ambil bagian dalam prosesi Logu Senhor di Gereja Sikka tiap tahunnya. Harapannya warisan ini tetap hidup dan ada sampai selamanya. Karena ini adalah peninggalan bersejarah dari pendahulu kita," ungkap Parera.

Ia menuturkan bahwa ada banyak umat atau peziarah yang sudah membuktikan setelah mengikuti prosesi Logu Senhor doa dan permohonannya dikabulkan.

"Sudah banyak bukti. Setelah mengikuti Logu Senhor ini ada yang harapannya terwujud. Dulu pernah ada peziarah yang datang ikut untuk minta keturunan. Dia bilang, kalau tahun ini tidak berhasil, saya akan datang lagi tahun depan. Buktinya tahun depannya ia tidak datang lagi. Rupanya doa sudah terkabul. Banyak bukti lain, hanya saja mereka tak mengabarkan kepada publik," tuturnya.

Para peziarah yang mengikuti prosesi Logu Senhor di Gereja Tua Sikka, NTT pada malam perayaan Jumat Agung. KOMPAS.com/NANSIANUS TARIS Para peziarah yang mengikuti prosesi Logu Senhor di Gereja Tua Sikka, NTT pada malam perayaan Jumat Agung.
Seperti itulah sepenggal sejarah dan cerita Logu Senhor, warisan Portugis yang bersemayam di Sikka Flores.

Mungkin anda penasaran atau ingin menyaksikan dan menjadi peserta prosesi Logu Senhor. Silakan mengunjungi Gereja Santo Ignatius Loyola (Gereja Tua Sikka) di Desa Sikka, Kecamatan Lela, Kabupaten Sikka, Flores.

Datanglah pada pada bulan April setiap tahun yaitu dalam perayan Paskah umat Katolik tepatnya pada malam Jumat Agung.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com