Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sejarah Sanggar Budaya Bliran Sina Merawat Tradisi Tenun Ikat Sikka

Kompas.com - 02/05/2019, 11:10 WIB
Nansianus Taris,
I Made Asdhiana

Tim Redaksi

MAUMERE, KOMPAS.com - Bliran Sina merupakan salah satu sanggar budaya di Kabupaten Sikka, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang terkenal dengan tenun ikat tradisionalnya.

Sejak berdiri pada tahun 1988 hingga saat ini, sanggar budaya Bliran Sina ini masih membuat kain tenun ikat secara tradisional. Mulai dari proses pembuatan kapas jadi benang, sampai pada pewarnaan yang serba alami yakni dari tumbuh-tumbuhan.

Karena itulah, sejak tahun 1992, sanggar ini selalu menjadi inacaran wisatawan, baik itu wisatawan nusantara maupun mancanegara.

Baca juga: Pesona Kain Tenun Ikat Tradisonal Sikka Menghipnotis Wisatawan

Wisatawan yang berkunjung bertujuan menyaksikan proses pembuatan kain tenun ikat secara tradisional. Wisatawan juga menyaksikan tarian dan musik tradisional masyarakat setempat.

Sejarah Berdirinya Sanggar Bliran Sina

Senin (29/4/2019), Kompas.com ditemani teman jurnalis berpelisir ke sanggar budaya Bliran Sina ini. Di sanggar ini saya bertemu dan berbincang dengan ketua sanggar, Yosef Gervasius perihal sejarah dan perjalanan sanggar budaya Bliran Sina.

Yosef Gervasius, Ketua sanggar budaya Bliran Sina di Kabupaten Sikka, NTT.KOMPAS.com/NANSIANUS TARIS Yosef Gervasius, Ketua sanggar budaya Bliran Sina di Kabupaten Sikka, NTT.
Yosef menuturkan sebelum tahun 1988 almarhum Romanus Rego mendirikan sanggar budaya Bliran Sina untuk melestarikan tradisi tenun dan menjualnya kain tenun melalui sebuah sebuah wadah.

Baca juga: Sejarah Logu Senhor, Tradisi Portugis yang Bersemayam di Sikka Flores

Sebelum itu, Romanus bersama istri dan beberapa ibu-ibu asal Dusun Watublapi telah berjalan keliling Mailumere untuk menjual kain tenun ikat yang dibuatnya untuk membiayai kehidupan keluarga.

Permintaan pasar akan kain tenun ikat tradisional pun dari hari ke hari semakin melejit. Sejak saat itulah, ia berpikir bahwa untuk menjual kain-kain tenun itu harus melalui sebuah organisasi.

Baca juga: Mengenal Sejarah Proses Pembuatan Kain Tenun di Sikka Flores

Maka dia memutuskan membentuk sanggar budaya Bliran Sina. Itulah cikal bakal awal berdirinya sanggar budaya ini.

Menurut Yosef, lebih dari itu ia tujuan pendirian kelompok sanggar untuk melestarikan tradisi menenun yang diwariskan dari nenek moyang.

Kain tenun ikat dengan aneka motif di sanggar budaya Bliran Sina, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, Senin (29/4/2019).KOMPAS.com/NANSIANUS TARIS Kain tenun ikat dengan aneka motif di sanggar budaya Bliran Sina, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, Senin (29/4/2019).
"Awalnya sanggar ini memang berdiri untuk melestarikan proses kain tenun ikat secara tradisional. Khusus itu saja," tutur Yosef.

Ia melanjutkan, lokasi awal kelompok tenun itu berada di puncak pegunungan Baomekot, tetapi karena masalah keamanan tidak menjamin, lokasinya pindah ke Dusun Watublapi, Desa Kajowair, Kecamatan Hewokloang, Kabupaten Sikka.

Karena kelompok sanggar sudah mulai berkembang, sejak tahun 1988, sanggar budaya Bliran Sina bekerja sama dengan Dinas Pariwisata Kabupaten Sikka untuk menambah modal usaha. Apalagi usaha itu fokus di pengembangan wisata.

"Sejak tahun 1988 sampai 1991 lebih banyak kapal-kapal pesiar dan dinas pariwisata yang berkunjung. Itu satu bulan satu kapal pesiar yang datang bekunjung dengan jumlah banyak," kata Yosef.

Ia mengungkapkan, sejak Romanus meninggal pada tahun 1991, sanggar itu sempat 3 bulan vakum karena tidak ada yang memimpin. Akibatnya pengelolaan sanggar diserahkan ke desa. Desa mengelola sanggar selama 6 bulan.

Anggota Sanggar Bliran Sina di Kabupaten Sikka, Flores, NTT, bersama Ketua sanggar budaya Bliran Sina, Yosef Gervasius (kedua dari kanan), Senin (29/4/2019). KOMPAS.com/NANSIANUS TARIS Anggota Sanggar Bliran Sina di Kabupaten Sikka, Flores, NTT, bersama Ketua sanggar budaya Bliran Sina, Yosef Gervasius (kedua dari kanan), Senin (29/4/2019).
"Waktu itu kami semua anaknya berada di luar daerah. Setelah kami pulang, lalu sanggar ini diserahkan kepada anak pertama, namanya Alfonsus Ratas Boneo. Setelah 5 tahun, sanggar ini pindah lagi ke Damian David. Kemudian setelah itu ia pindah dan buat group sanggar tersendiri dan akhirnya sejak tahun 2014 yang lalu saya yang pimpin sanggar ini," tutur Yosef.

Ia menegaskan bahwa konsep awal sanggar budaya Bliran Sina adalah sebagai salah obyek wisata hanya mempromosikan kain tenun ikat.

Namun Dinas Pariwisata Kabupaten Sikka menyarankan agar selain mempromosikan kain tenun ikat, sanggar juga menyiapkan tarian dan musik tradisional agar lebih menarik para pengunjung.

Sanggar akhirnya pun mencoba dengan tarian dan musik tradisional. Sejak saat itu jumlah pengunjung dari tahun ke tahun pun mengalami peningkatan.

"Setelah kita lihat itu, akhirnya kita padukan. Tenun ikat sekalian dengan tarian dan musik adat. Itu yang dibuat sampai sekarang ini," ungkapnya.

Anggota Sanggar Bliran Sina di Kabupaten Sikka, Flores, NTT berfoto bersama berlatar kain tenun ikat, Senin (29/4/2019).KOMPAS.com/NANSIANUS TARIS Anggota Sanggar Bliran Sina di Kabupaten Sikka, Flores, NTT berfoto bersama berlatar kain tenun ikat, Senin (29/4/2019).
Dari Merawat Tradisi Sampai Membantu Perekonomian Anggota

Yosef menjelaskan, sejak berdiri hingga ramai dikunjungi para wisatawan, sanggar budaya Bliran Sina sungguh membawa dampak yang luar biasa bagi perekonomian masyarakat setempat khusunya anggota sanggar.

Menurut Yosef, kerja sama anggota telah berhasil melestarikan tradisi menenun sambil membuka peluang usaha dengan menjual hasil tenun.

"Hasil tenun dari semua anggota sanggar dipamerkan di sini setiap kali ada pengunjung datang. Ada pengunjung yang tidak hanya menyaksikan proses pembuatan kain tenun, tarian, dan musik tradisonal, tetapi juga membeli kain tenun milik anggota sanggar untuk oleh-oleh. Dari situlah nilai ekonomis yang dirasakan anggota sanggar," ungkap Yosef.

Ia menerangkan, semua kain tenun yang dijual di sanggar merupakan hasil olahan dari bahan alami. Mulai dari bahan dasar benang, pewarnaan, sampai pada proses tenun.

Kain ini terbuat dari benang dari kapas asli yang dipintal langsung dari kebunnya, bukan yang dibeli di toko. Pewarnaan juga sangat alami yakni terbuat dari tumbuhan yang ada di sekitar.

Kain tenun ikat dengan aneka motif di sanggar budaya Bliran Sina, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, Senin (29/4/2019).KOMPAS.com/NANSIANUS TARIS Kain tenun ikat dengan aneka motif di sanggar budaya Bliran Sina, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, Senin (29/4/2019).
Ia menjelaskan, warna hitam dengan biru terbuat dari daun nila. Warna hijau dari daun kacang-kacangan. Warna merah dari kulit akar mengkudu. Warna kuning dari kunyit dan kulit nangka.

"Karena terbuat dari bahan yang serba alami, proses untuk menghasilkan sebuah kain tenun jadinya rumit dan cukup lama. Mulai dari pintal kapas, pewarnaan, bentuk motif, itu bisa memakan waktu berbulan-bulan. Jadi wajar kalau harga kainnya agak mahal. Tetapi, kualitas kain tenun yang dijual di sanggar sangat terjamin. Tidak ada sedikit pun campur dengan bahan kimia," jelas Yosef.

Dia memaparkan, berkat konsisten merawat tradisi menenun secara tradisional, sanggar budaya Bliran Sina kini pun sangat sering dikunjungi wisatawan.

Wisatawan yang berkunjung ke sanggar ini bertujuan menyaksikan proses pembuatan kain tenun ikat secara tradisional. Mulai dari proses pintal kapas, pewarnaan, bentuk motif dan proses menenun untuk menghasilkan sebuah kain. Ada pula wisatawan yang membeli kain tenun yang djual di sanggar sebagai oleh-oleh.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com