Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

6 Tradisi Ramadhan Masyarakat Jakarta yang Semakin Sulit Ditemukan

Kompas.com - 17/05/2019, 08:07 WIB
Sherly Puspita,
Sri Anindiati Nursastri

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Menikmati hidangan sahur, berpuasa selama seharian penuh, melakukan berbagai aktivitas ngabuburit untuk menunggu waktu berbuka, menikmati hidangan khas buka puasa, hingga merayakan hari raya Idul Fitri atau Lebaran setelah 30 hari berpuasa. Itulah momen-momen yang selalu dinantikan umat muslim Indonesia setiap tahunnya.

Meski momen-momen ini selalu hadir setiap tahunnya, tradisi-tradisi yang muncul jelang hari raya Idul Fitri ternyata terus mengalami perubahan. Sejarawan, penulis, sekaligus pendiri penerbitan Komunitas Bambu, JJ Rizal, mengatakan ada beberapa tradisi Ramadhan masyarakat Jakarta tempo dulu yang semakin sulit ditemui di masa kini.

Berikut Kompas.com merangkum 6 tradisi lebaran masyarakat Jakarta yang semakin sulit ditemui.

Foto udara hunian warga disekitar bantaran Kali Ciliwung yang membelah Kelurahan Kampung Melayu, Jakarta Timur dan Bukit Duri, Jakarta Selatan, Selasa (26/6/2018). DPRD DKI Jakarta meminta Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta segera memulai lagi normalisasi sungai.

KOMPAS/AGUS SUSANTO (AGS)
26-06-2018 *** Local Caption *** Foto udara hunian warga disekitar bantaran Kali Ciliwung yang membelah Kelurahan Kampung Melayu, Jakarta Timur dan Bukit Duri, Jakarta Selatan, Selasa (26/6/2018). DPRD DKI Jakarta meminta Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta segera memulai lagi normalisasi sungai.

KOMPAS/AGUS SUSANTO (AGS)
26-6-2018KOMPAS/AGUS SUSANTO Foto udara hunian warga disekitar bantaran Kali Ciliwung yang membelah Kelurahan Kampung Melayu, Jakarta Timur dan Bukit Duri, Jakarta Selatan, Selasa (26/6/2018). DPRD DKI Jakarta meminta Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta segera memulai lagi normalisasi sungai. KOMPAS/AGUS SUSANTO (AGS) 26-06-2018 *** Local Caption *** Foto udara hunian warga disekitar bantaran Kali Ciliwung yang membelah Kelurahan Kampung Melayu, Jakarta Timur dan Bukit Duri, Jakarta Selatan, Selasa (26/6/2018). DPRD DKI Jakarta meminta Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta segera memulai lagi normalisasi sungai. KOMPAS/AGUS SUSANTO (AGS) 26-6-2018

1.Tradisi Padusan

Jika saat ini Anda menemui kondisi Kali Ciliwung yang sangat kotor dan kerap banjir, pada tahun 1960 hingga 1970 kondisinya sangat berbeda. Bahkan JJ Rizal menyebut saat itu Kali Ciliwung digunakan warga Jakarta untuk menggelar tradisi padusan jelang bulan Ramadhan.

Padusan merupakan tradisi sakral yang biasa dilakukan masyarakat di berbagai daerah di Indonesia untuk menyambut bulan suci Ramadhan. Tradisi padusan sendiri memiliki makna membersihkan jiwa dan raga seseorang sebelum menunaikan ibadah puasa.

“Jadi mereka turun ke kali (Ciliwung) untuk mandi terus keramas merang. Dulu merang bikinan sendiri, belum dijual sampo seperti sekarang ini. Air di Kali Ciliwung waktu itu dianggap air yang membawa berkah. Jadi orang turun ke Ciliwung untuk mandi, bersuci,” ujar Rizal ketika dihubungi KompasTravel, Kamis (9/5/2019).

Tak hanya itu, pada saat itu masyarakat Betawi percaya bahwa Kali Ciliwung merupakan tempat tinggal para leluhur yang harus dihormati. Saat ini masyarakat Jakarta lebih memilik melakukan tradisi padusan di rumah masing-masing.

Perajin bedug di Jalan KH Mas Mansyur, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Sabtu (24/6/2017)Kompas.com/David Oliver Purba Perajin bedug di Jalan KH Mas Mansyur, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Sabtu (24/6/2017)

2. Memukul Bedug

Tradisi masyarakat Jakarta dalam menyambut bulan Ramadhan yang semakin sulit ditemui adalah memukul bedug. Pada masa lalu bedug bisanya digunakan masyarakat untuk membangunkan umat muslim saat jam sahur dan sebagai pertanda saat waktu buka puasa telah tiba.

Tak hanya itu, masyarakat Jakarta juga sering menggunakan bedug sebagai kelangkapan pawai sehingga bulan Ramadhan terasa lebih hangat.

“Tapi sekarang bedug itu semakin sulit ditemukan. Sekarang lebih suka menggunakan toa. Ada yang beralasan bedug lebih berisik, padahal kan toa juga sama saja,” ujar Rizal.

Menurutnya, memukul bedug juga lekat dengan budaya komunal masyarakat Jakarta yang patut dipertahankan.

Masyarakat Kabupaten Sambas di Desa Sijang secara khususnya telah mampu memecahkan rekor tersebut dengan sebanyak menampilkan  2018 meriam bambu. Masyarakat Kabupaten Sambas di Desa Sijang secara khususnya telah mampu memecahkan rekor tersebut dengan sebanyak menampilkan 2018 meriam bambu.

3. Bermain Bleguran

Tak seperti sekarang, sekitar tahun 1970-an, warga Jakarta lebih memilih menunggu waktu berbuka puasa dengan melakukan aktivitas sembahyang di rumah atau melakukan kegiatan berkelompok bersama warga kampung. Salah satunya dengan bermain bleguran.

Menjelang berbuka para remaja pada masa itu akan pergi ke kebun untuk mencari bambu kentung atau bambu yang memiliki rongga yang besar sebagai bahan dasar membuat bleguran. Bambu yang besar itu kemudian dimasukkan karbit lalu disundut. Nantinya bleguran itu akan dimainkan pada malam hari.

Bleguran juga sering disebut meriam sundut. Menurut Rizal, meski berbentuk seperti meriam dan menghasilkan suara yang keras, bleguran tidak berbahaya. Para remaja dan warga kampung lainnya akan berkumpul dan menikmati keceriaan membunyikan bleguran bersama.

Sayangnya, lanjutnya, tradisi bermain bleguran kini sudah semakin ditinggalkan dan nyaris hilang. Banyak faktor yang menyebabkan tradisi ini hilang, salah satunya kurangnya lahan terbuka di Jakarta dan budaya warga Jakarta yang mengalami perubahan.

Salah seorang dukun warga Suku Tengger lereng Gunung Bromo bersama kerbau yang akan disembelih sebagai persembahan ritual unan-unan di Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang, Rabu (30/5/2018). Ritual unan-unan dilaksanakan setiap lima tahun sekali menurut penanggalan Suku Tengger untuk mensucikan desa supaya diberikan keselamatan dan dijauhkan dari malapetaka.KOMPAS.com/ANDI HARTIK Salah seorang dukun warga Suku Tengger lereng Gunung Bromo bersama kerbau yang akan disembelih sebagai persembahan ritual unan-unan di Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang, Rabu (30/5/2018). Ritual unan-unan dilaksanakan setiap lima tahun sekali menurut penanggalan Suku Tengger untuk mensucikan desa supaya diberikan keselamatan dan dijauhkan dari malapetaka.

4. Motong Kebo Andilan

Motong Kebo Andilan adalah sebuah tradisi masyarakat Betawi tempo dulu untuk menyambut bulan Ramadhan. Adapun kebo berarti kerbau. Rizal mengatakan, masyaratat Betawi tempo dulu memiliki kebiasaan mengumpulkan uang untuk kemudian dibelikan kerbau.

Selama bulan puasa, lanjutnya, masyarakat Betawi akan secara bergiliran menggembalakan kerbau tersebut di tanah-tanah lapang. Menurut Rizal pada saat itu tanah lapang masih banyak ditemukan di Jakarta. Kerbau itu akan diperhatikan kesehatannya dan diberikan makanan terbaik.

Setelah bulan Ramadhan tiba, masyarakat Betawi akan menyembelih kerbau tersebut dan memasaknya bersama-sama. Olahan daging kerbau nantinya akan dibagikan kepada seluruh masyarakat kampung.

Umat muslim melaksanakan salat Jumat pertama di bulan Ramadhan di kawasan Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, Jumat, (10/5/2019).KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG Umat muslim melaksanakan salat Jumat pertama di bulan Ramadhan di kawasan Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, Jumat, (10/5/2019).

5. Tak Bekerja Sebulan Penuh

Tradisi lain yang cukup unik menurut Rizal adalah, pada zaman dulu masyarakat Jakarta memilih berhenti dari pekerjaannya saat bulan Ramadhan tiba.

“Orang Betawi zaman dulu itu kalau datang bulan ramadhan atau nifsu sya’ban itu mereka sudah tidak kerja. Jadi mereka sudah tidak berniaga selama sebulan penuh. Karena mereka menganggap nyari duit itu 11 bulan saja, 1 bulannya untuk ibadah. Jadi itu pada berhenti kerja besar-besaran. Jadi saya menganggap itu sebagai peristiwa kebudayaan,” papar Rizal.

Menurut Rizal, hingga kini masih ada masyarakat Betawi yang mempertahankan budaya ini, namun jumlahnya sangat sedikit.

6. Tradisi Anteran

Menurut Rizal, anteran juga menjadi tradisi yang semakin sulit ditemui di Jakarta. Padahal pada tahun 1970-an, masyarakat Jakarta rutin mengantarkan makanan ke rumah tetangga dan kerabat dekat.

Menurut Rizal, tradisi ini tak hanya dilakukan oleh umat muslim, sehingga tradisi ini dapat menumbuhkan rasa kebersamaan dan toleransi antar umat beragama di Jakarta.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com