"Saya beli moke yang sudah disuling dari dari petani. Sampai di sini, mokenya disuling ulang menggunakan destilator. Setelah disuling ulang rasa dan aromanya sudah agak berbeda dengan aslinya. Yang ini rasa dan aromanya sudah lembut. Tidak menyengat lagi di hidung dan tenggorokan," tutur Stevanus.
Ia melanjutkan, moke hasil penyulingan ulang itu dijual seharga Rp 60.000 per botol. Dan untuk 1 jeriken 5 liter dijual Rp 500.000.
"Yang sudah disuling ulang ini, kadar alkoholnya 30-36 persen. Sudah diukur menggunakan alat alkohol meter. Jadi, tujuan kita suling ulang adalah menurunkan kadar alkoholnya," tambah Stevanus.
Motivasi Awal Bekerja Menyuling Moke
Stevanus mengungkapkan, ada banyak alasan yang mendorongya bekerja menyuling moke.
Pertama, moke adalah minuman tradisi yang diwariskan secara turun temurun. Karena itu, moke tidak boleh hilang.
"Itulah motivasi awal saya bekerja menyuling kembali moke di Desa Watu Gong ini," terangnya.
Ia menyampaikan, saat ini tugasnya sebagai generasi penerus adalah menaikkan status moke dari minuman tradisional ke minuman bernilai ekonomis.
Ia mengaku, usaha menaikkan status moke agar menjadi produk yang dilegalkan memang selalu mengalami kendala di regulasi.
"Kita sudah coba tahun 2017, tetapi lagi-lagi pemerintah tidak membuat regulasinya. Padahal upaya ini untuk melindungi seluruh petani moke di Kabupaten Sikka. Tetapi, kita tidak boleh berhenti. Kita harus terus berinovasi," ungkap Stevanus.
Kedua, Sikka adalah daerah pariwisata dan juga pintu gerbang bagi wisatawan yang hendak datang ke Flores dengan memiliki bandara dan pelabuhan yang sangat memadai.
Seharusnya di Maumere ini ada ada oleh-oleh khas yaitu moke. "Seperti di Bali itu ada arak Bali. Minuman khas di daerah lain bisa dilegalkan. Mengapa di Sikka tidak?" katanya.
Menurut Stevanus, hotel dan kafe di Maumere menjadikan moke sebagai minuman "welcome drink" bagi tamu yang datang.
"Sementara waktu memang kita terus berupaya untuk melegalkan moke sambil memperbaiki mutunya," tutur Stevanus.