Saat itu, ungkap mama Maria, orang-orang kampung Bola dan sekitarnya takut melihat orang asing apalagi berkulit putih karena takut diculik. Tetapi, Moan Baluk menjelaskan kepada masyarakat, rombongan bangsa Portugis adalah orang baik.
Mendengar penjelasan itu, masyarakat dari pegunungan pun beramai-ramai turun ke pantai membawa hasil panen seperti pisang dan singkong untuk disantap bersama.
Setelah makan, masyarakat bersama bangsa Portugis menancapkan salib dari pohon lontar berukuran besar di atas batu karang yang selanjutnya disebut Watu Krus (Batu Salib).
"Tujuannya agar diketahui di daerah ini dulu pernah dimasuki bangsa Portugis. Di sini mereka menyebarkan agama dan membaptis orang-orang di sekitar Bola dan bagian Timur Sikka. Mereka pun membangun gereja Katolik di sini," kata Maria.
Dulu, menurut Maria, di atas Batu Salib itu ada jejak telapak kaki berukuran besar. Tetapi, jejak kaki tersebut telah diambil orang luar negeri dan dibawa ke negerinya. Selain itu juga, di atas Batu Salib itu ditemukan Alkitab, piring, dan periuk.
Maria menuturkan, dari dulu, di saat musim kemarau berkepanjangan, masyarakat di Bola ramai-ramai datang berdoa di Batu Salib meminta hujan.
"Masyarakat datang berdoa minta hujan. Biasanya selama 9 hari. Tetapi, kalau hujan sudah turun terkadang sampai 3 hari saja. Hujan pasti turun. Kebisaan ini terus dilakukan sampai sekarang. Masyarakat percaya itu," tutur Maria.
"Ada juga warga yang datang berdoa secara pribadi di situ. Menyampaikan intensi khusus. Dan pasti terkabulkan. Itu sudah terbukti," sambung Maria.