Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Joseph Osdar
Kolumnis

Mantan wartawan harian Kompas. Kolumnis 

Dari Jauh Kelihatan Manado Tua dan Ribuan Turis

Kompas.com - 30/07/2019, 15:29 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Ketika saya masih kecil, duduk di sekolah dasar (SD) di Magelang, Jawa Tengah, nenek saya, Levina Rori, tiap malam menjelang tidur selalu bercerita tentang kampung kelahirannya.

Kampung kelahiranya adalah Warembungan yang ada di atas sebuah bukit, 10 kilometer utara Manado, Sulawesi Utara (Sulut).

Nenek selalu mengatakan, dari kampungnya, ia bisa memandang kapal-kapal yang masuk keluar di Pelabuhan Manado, ibukota Provinsi Sulut.

Nenek yang sering dipanggil orang dengan sebutan “Oma Nona” oleh orang-orang di Kampung Kwayuhan, Magelang, selalu menutup ceritanya dengan melantunkan lagu dari tanah asalnya di Minahasa yang berjudul, “Dari jauh kelihatan Manado Tua”.

Manado Tua, bagian dari Kecamatan Bunaken, adalah sebuah pulau yang ada di seberang laut kota Manado.

Di pulau itu ada sebuah gunung api. Kalau kita memandang dari kota Manado, pulau itu akan nampak seperti gunung yang ada di lautan.

Dahulu cerita nenek, saya ragukan. Sebelum saya keluar dari Magelang, saya berpendapat pantai atau lautan tidak bisa dilihat dari gunung. Antara gunung dan laut sangat terisah. Tidak ada gunung di tepi pantai.

Ketika saya belajar di sebuah perguruan tinggi di Pineleng, persis di awa bukit Warembungan, betapa menyesalnya saya membantah cerita nenek.

Bila saya duduk di tepi kampung Warembungan atau dari kampus Pineleng yang letaknya di atas gunung, pemandangan laut bukan suatu yang aneh. Kebenaran ucapan nenek baru saya sadari bertahun-tahun kemudian.

Pada Jumat 16 September 2016, setelah sidang kabinet di Istana Kepresidenan, Jakarta, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya, terbang ke Manado untuk menjalankan tugas dari Presiden Joko Widodo melihat perkembangan turisme di Sulawesi Utara yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Saya ikut dalam perjalanan ini.

Sesampainya di Manado, Siti Nurbaya, langsung naik kapal motor ke perairan laut sekitar Bunaken yang saat itu sedang kotor karena sampah plastik dari sebuah sungai di Manado yang di lintasi Jembatan Sukarno dan Jembatan Megawati.

Siti Nurbaya semat minta juru kamera mengabadikan sampah plastik yang terapung-apung di dekat Pulau Bunaken.

”Untung ketika Presiden Joko Widodo ke Bunaken akhir Mei 2019 ini, laut di Taman Laut Bunaken bersih,” kata Gubernur Sulut Olly Dondokambey kepada saya setelah kunjungan kerja Presiden itu.

Gubernur Sulawesi Utara Olly Dondokambey dan Presiden Joko Widodo Gubernur Sulawesi Utara Olly Dondokambey dan Presiden Joko Widodo
Kemudian Siti Nurbaya naik ke sebuah bukit di Manado, tidak jauh dari Warembungan. Dari puncak bukit itu, dari jauh kelihatan Manado Tua.

“Obyek wisata di sini mencapai standar ideal sekali, karena gunung dan pantai laut menyatu,” ujar Siti Nurbaya memandang mata saya yang basah oleh linangan air mata.

Saya ingat nenek, Oma Nona Berkebaya Putih.

Ketika menyaksikan taman laut Bunaken dengan kapal khusus bersama Menteri LHK, Siti Nurbaya, seorang perempuan yang bekerja untuk salah seorang anggota Tim Komunikasi Presiden Jokowi, Mariza Hamid yang ikut dalam rombongan dengan spontan mengatakan, “Wah kalu sudah seperti ini, keindahan taman laut Bunaken suudah kalah dibandingkan taman laut Kepulauan Seribu, Jakarta”.

Tanggal 11 September 1991, saya ikut Presiden (waktu itu), Soeharto membuka hotel berbintang empat pertama di Sulawesi Utara.

Hotel bernama Manado Bech Hotel yang ada di Kampung Mokupa, Kecamatan Tombariri, Kabupaten Minahasa itu sebenarnya tidak jauh dari Warembungan.

Hotel yang terkenal dengan sebutan MBH ini memberi kesempatan arus turis asing mulai masuk ke Sulawesi Utara pada awal 1990-an.

Dari hotel ini kita bisa memandang Manado Tua sepuas hati. Namun sekarang hotel itu sudah “seperti sarang hantu” tak terpelihara, sudah tutup, sudah “mangkrak” .

Seorang temen lulusan Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada Yogyakarta (UGM), Fendri Ponompan, asal Kuwil, sebuah kampung 15 kilometer barat Manado, berkomentar tajam tentang bangunan-bangunan mercusuar yang mangkrak di Manado.

Ketika berjalan kaki berkeliing Manado bulan Januari 2019 lalu, Fendri, pengamat pembangunan di Sulawesi Utara, mengatakan, Manado Beach Hotel (MBH), adalah salah satu dari sekian banyak dari “monumen kegagalan” pembangunan di Manado.

“Selain MBH bangunan-bangunan mangkrang seperti sebuah bangunan bertingkat di dekat Stadion Kalabat, gedung bertingkat di Kampus Universitas Sam Ratu Langi di Kleak dan lain-lainnya mungkin bisa menjadi obyek wisata menarik di Manado,” ujar Fendri sinis.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com