Penelitian yang dilakukan di Loyang Putri Pukes menurut Ketut, dilakukan pada durasi Mei hingga Juli 2019.
Meski demikian pihaknya sudah pernah menyambangi Loyang Peteri Pukes pada tahun 2018. Sampel saat itu sampel DNA dibawa oleh sejumlah peneliti asing untuk mengetahui ras dan perkiraan usia dari kerangka Putri Pukes yang hidup pada masa lampau tersebut.
"Yang dikirimkan ke Oxford University adalah bagian daripada tulang, yang dianalisis DNAnya. itu sudah kita kiriam sejak setahun lalu. Menariknya, setelah kita ambil DNA Putri pukes, ternyata berbeda dengan DNA kerangka manusia purba yang kita ditemui disekitar Ceruk Mendale," jelas Ketut.
Selain Oxford University, tes DNA Putri Pukes itu dilakukan di Kopenhagen Denmark, dan di California, Amerika Serikat.
Hasil penelitian ini sebut Ketut, semakin memperkuat bukti bahwa telah terjadinya asimilasi budaya manusia pada masa lalu. Hal itu diperkuat dengan temuan beragam benda yang digunakan dalam kehidupan pada masa lalu.
"Yang pasti diduga lebih tua dari temuan yang ada di Loyang Mendale, tetapi budayanya orang Mendale. Seolah perbauran manusia dan budaya terjadi dengan ditemukannya Kapak batu, kapak lonjong, kapak persegi, pecahan tembikar," ujarnya.
Menurutnya, temuan kerangka di Loyang Mendale mencerminkan pembauran tetapi lebih dominan mongoloid. Sementara, kerangka di Puteri Pukes adalah ras austromelanesoid atau rumpun bangsa melanesoid/negroid yang menetap di beberapa benua.
"Sementara yang di Loyang Mendale lebih dominan dengan ras mongoloid, ciri australomelanosoid ini seperti di Nduga, atau Papua," ucapnya sembari menambahkan, ras australomelanosoid umumnya memiliki kulit yang lebih gelap.
Tes DNA Puteri Pukes itu dilakukan di Kopenhagen, Oxford, dan California.
Legenda Putri Pukes yang Menjadi batu
Pasangan suami istri bernama Puteri Pukes (Peteri Pukes) menggelar pernikahan di rumahnya di pinggiran Danau Laut Tawar, Takengon, Aceh Tengah.
Setelah prosesi pernikahan selesai, sang ibu merasa berat melepaskan Putri Pukes yang akan berangkat ke rumah suaminya. Sang ibu memberikan pesan agar tidak melihat kebelakang apabila Puteri Pukes bersama rombongan sedang berjalan menuju rumah pengantin laki-laki.
Singkat cerita, penganti pria berangkat menunggangi kuda di atas gunung yang tidak jauh dari pinggiran Danau Laur Tawar.
Sementara karena pada saat itu pengantin pria dan wanita tidak boleh berduaan dalam perjalanan. Rombongan Putri Pukes berangkat melewati lereng gunung yang berada tidak jauh dari Danau Laut Tawar.
Di tengah perjalanan, Putri Pukes merasa ada suara yang mirip dengan suara ibunya terus memanggil dari kejauhan. Tak tahan menahan kerinduan dengan sosok ibu, Puteri Pukes akhirnya melanggar amanah ibunya dengan menoleh ke arah belakang.
Tak lama, hujan badai petir tiba-tiba muncul, akhirnya Puteri Pukes dan suaminya menjadi batu di lokasi yang berbeda.
Kini sebuah batu Putri Pukes dengan tinggi kurang lebih 1, 5 meer berada di sebuah goa yang disebut Loyang Peteri Pukes atau Goa Puteri Pukes di Kampung Mendale, Kecamatan Kebayakan, Kabupaten Aceh Tengah.
Loyang Puteri Pukes itu saat ini telah menjadi kunjungan wisata di daerah berhawa sejuk itu, dan biasanya dibuka pada hari Sabtu dan Minggu atau saat waktu libur tiba.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.