Meski bisa muncul mulai usia satu tahun, tak menutup kemungkinan ritual ruwatan (pemotongan rambut) baru dilakukan bertahun-tahun setelahnya. Mbah Sumanto punya kriteria sendiri untuk hal ini.
Menurutnya, usia paling baik untuk melakukan ritual pemotongan rambut gimbal adalah sejak 3 tahun, di saat anak tersebut bisa mengkomunikasikan permintaannya.
“Tapi ada juga yang sampai tua dipelihara (gimbalnya). Ada yang sampai 45 tahun,” lanjutnya.
Sebenarnya apa pentingnya ritual ini? Mbah Sumanto menjawab, berdasarkan kepercayaan, rambut gimbal merupakan “titipan” dari para leluhur. Titipan itu harus dipotong, kemudian dilarung (dihanyutkan) di Telaga Balekambang sebagai tanda terima kasih.
Hal ini sudah dilakukan penduduk Dataran Tinggi Dieng selama berpuluh tahun. Uniknya, rambut gimbal masih “menghantui” keturunan warga Dieng bahkan saat orang tersebut sudah pindah ke kota lain. Tak heran banyak peserta yang berasal dari luar Dieng, termasuk Jakarta.
Baca juga: Dieng Culture Festival 2019 Dikunjungi 177 Ribu Wisatawan
Ada warga yang melakukan ritual ruwatan di kediaman masing-masing, dengan mengadakan syukuran setelahnya. Ada pula warga yang melakukan pemotongan rambut massal karena merasa tak mampu untuk menggelar hajatan.
Dieng Culture Festival, yang kali ini memasuki tahun ke-10, digelar untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Sepersekian harga tiket yang dibeli wisatawan adalah untuk membeli permintaan-permintaan tak biasa para bocah Dieng. Sepersekiannya lagi, untuk sesaji dan syukuran massal pasca-ritual.
Ada 11 anak berambut gimbal yang akan melakukan ritual tahun ini, dan semuanya perempuan. Mbah Sumanto membenarkan bahwa anak gimbal memang didominasi perempuan. Tahun ini mereka datang dari Dieng, Wonosobo, Temanggung, Batang, sampai Tanjung Priok.
“Permintaan anak-anak (gimbal) tahun ini tidak sesusah tahun lalu. Tahun lalu ada yang minta sapi bule segala,” kisah Mbah Sumanto sambil tertawa.
Tahun ini, ada anak yang hanya minta uang sebesar Rp 4.000. Anak lainnya minta uang sebesar Rp 4 juta. Ada anak yang meminta sepeda warna pink. Ada yang minta liburan ke pantai. Seorang anak dari Banjarnegara meminta 10 buah durian. Salah satu anak dari Wonosobo meminta tiga hal tidak lumrah yaitu pecut/cambuk, klintingan, dan topeng.
Kayang sendiri meminta es krim cokelat, satu buah saja. Permintaan paling unik tahun ini jatuh pada Dinda Syifa Ramadhani (4). Bocah asal Wonosobo itu meminta dua hal.
“Kentut satu kantong plastik, dan telur puyuh satu butir,” ujar Mbah Sumanto, menirukan gaya bicara Dinda.
Saya refleks bertanya, kentut siapa Mbah?
Si Mbah hanya tertawa.
Minggu (4/8/2019). Waktu menunjukkan pukul 06.15 WIB. Ayahanda Kayang memanggil anak sulungnya itu untuk menyapa saya di pintu depan. Kayang, bersama beberapa peserta lainnya, menginap di rumah tak jauh dari kediaman Mbah Sumanto. Ia sendiri sudah bangun sejak pukul 05.30 WIB dan mandi air hangat. Suhu di Dieng memang tengah menusuk kulit.